STRATEGINEWS.id, Jakarta – Belakangan ini semakin merebak konten negatif di dunia digital seperti hoax, konten provokasi yang dapat mengundang ujaran kebencian juga bullying. Bila tidak segera disikapi, hal ini bisa merusak eksistensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Maraknya konten-konten negatif, saling menghujat, dan menyampaikan kritik secara kebablasan dan menimbulkan kegaduhan, karena para pengguna digital ini belum mampu memahami batasan kebebasan berekspresi. Sehingga menembus batas perlindungan siber ujaran kebencian pencemaran nama baik atau provokasi yang mengarah pada segresi sosial atau perpecahan polarisasi di ruang digital

Menurut praktisi hukum yang juga dosen di perguruan tinggi di Jakarta, Dr. Suriyanto Pd, SH,MH, M.Kn, kebebasan berekspresi di ruang siber sering kali tidak seimbang dengan etika dan kesadaran moral. Tanpa kesadaran akan tanggung jawab, kebebasan ini dapat memicu gesekan seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, atau konflik antar pengguna.
“ Ini yang harus menjadi perhatian kita semua. Berekspresi di ruang siber, harus diimbangi dengan etika dan kesadaran moral. Kebebasan jangan kemudian ditafsirkan sebebas bebasnya tanpa aturan, hal ini akan bersinggungan dengan hukum. Solusinya melibatkan edukasi digital, penguatan literasi media, dan penegakan aturan yang mendukung etika tanpa membatasi kebebasan,” kata Suriyanto, melalui keterangan di Jakarta, Senin[5/5/2025]
Alasan lainnya, kata Suriyanto, konten negatif itu masih berseliweran di ruang siber, karena belum mampu membedakan keterbukaan informasi publik dengan pelanggaran privasi di ruang digital.
Merujuk pada UU nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi Publik yang wajib memberikan informasi publik adalah lembaga publik. Itupun sebatas informasi yang sifatnya penting untuk publik.
Kita berhak memperoleh perlindungan privasi di ruang dicipta apapun profesi yang kita pilih. Seringkali kita melakukan pelanggaran hak privasi dengan mengunggah foto atau video tanpa adanya persetujuan dua belah pihak. Hanya karena seseorang menjadi figur publik tidak berarti ia tidak memiliki privasi dengan alasan risiko profesi.
“Jadi kita tidak berhak untuk mengulik-ulik kehidupan pribadi dari para publik figur ataupun pejabat publik karena itu menjadi hak dia untuk menutupi mana privasi yang ingin mereka jaga,” jelasnya.
Selain pelanggaran privasi, ruang siber juga sering dimanfaatkan untuk kejahatan lainnya seperti penipuan, judi online, juga kejahatan perdagangan manusia.
Untuk itu, Suriyanto juga mengusulkan perlunya perubahan UU ITE.
Untuk perubahan UU ITE Indonsia perlu UU tersebut dijadikan UU yang lexspesialis atau berdiri sendiri agar lebih mudah pihak penegak Hukum dalam menentukan pasal – pasal pada tindak kejahatan siber yang semakin banyak jumlahnya dari tahun ke tahun dan di dukung oleh UU lain yang terkait pada kejahatan yang dilakukan di siber space.
Dalam perubahan uu ITE tersebut juga perlu ditambahakan pasal untuk penindakan kejahatan yang menggunakan system AI yang mana saat ini telah banyak digunakan oleh semua kalangan, hal ini tentunya akan menimbulakn kejahatan baru di ruang Siber Space maka perlu untuk dibuat aturan Hukum nya pada UU ITE.
Dalam perubahan UU ITE yang akan dilakukan oleh Pemerintah dan Legislatif sangat perlu untuk menentukan tindak kejahatan ini apakah masuk pada delik aduan atau delik Um um tertama pada kejahatan penyebaran konten pornografi dan perjudian online.
[Jagad N]