STRATEGINEWS.id, Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa pemerintah bersama PT. PLN (Persero) tengah menyusun Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Tahun 2025-2035 dengan menargetkan sedikitnya 60% merupakan pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) dari total pembangkit.
“Saya mulai diperintahkan oleh Presiden Jokowi sama Presiden Pak Prabowo untuk mendetailkan, kita konversi RUPTL 2025-2035, 10 tahun kan, RUPTL itu minimum saya katakan 60% itu harus energi baru terbarukan,” tuturnya pada acara Kumparan Green Initiative Conference 2024 di Jakarta, Rabu (25/9).
Untuk meningkatkan porsi pembangkit berbasis EBT dalam RUPTL, jelas Bahlil, pemerintah tengah mengkaji secara komprehensif skema yang akan digunakan dengan tidak merugikan PT. PLN (Persero), pengusaha Independent Power Producer (IPP), maupun tidak memberatkan negara jika akan memberikan subsidi.
Karena capital Expenditure (capex) dalam pembangunan pembangkit berbasis EBT sangat mahal, Bahlil menyebutkan bahwa untuk 1 MW pembangkit EBT, dana yang dikucurkan mencapai USD6 juta, nilai tersebut mencapai 6 kali lebih besar apabila dibandingkan dengan pembangkit berbasis batubara yang jauh lebih murah dengan nilai di bawah USD1 juta untuk 1 MW.
Bahlil melanjutkan untuk mengambil jalan tengah permasalahan tersebut, pemerintah sedang meriset opsi yang sudah didiskusikan bersama antara pemerintah, PLN, dan pelaku usaha, dengan memberikan kontrak IPP bekerja sama dengan PLN selama 30 tahun, dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) yang akan diturunkan bertahap setiap 10 tahun.
“Kita tarik break even point-nya (IPP) itu 8 sampai 10 tahun. Setelah harganya tinggi, langsung turun perlahan-lahan. Jadi 10 tahun pertama, supaya ada perbankan yang membiayai pengusahanya hingga break even point, habis itu terus diturunkan, dan kontraknya 30 tahun. Jadi 10 tahun dia berusaha untuk mengembalikan modalnya 20 tahun dia menikmati hasilnya. Dan Alhamdulillah metode ini dapat diterima baik oleh pemerintah, PLN dan pengusaha. Dan konsep ini saya pikir win-win solution,” ujarnya.
Ia pun memberikan contoh skema penurunan harga BPP secara bertahap dalam setiap 10 tahun pada pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), sehingga ke depannya tidak akan memberatkan beban subsidi negara dan PLN sebagai penyedia jaringan listrik nasional.
“Kalau tidak salah PLN itu menerima itu dalam peraturan kemarin saya sudah tanda tangani untuk 10 tahun pertama sekitar 9,5 sen untuk geotermal. Nanti bertahap 10 tahun, habis itu turun menjadi 7 sampai 7,3 sen. Habis itu diturunkan lagi. Supaya apa? PLN bisa dapat untung dan negara tidak diberikan beban,” pungkasnya. (DAN)