STRATEGINEWS.id, Jakarta – Fenomena organisasi masyarakat (ormas) yang meminta tunjangan hari raya (THR) kepada pengusaha di Indonesia bukan hal baru dan kerap menjadi sorotan, terutama menjelang Hari Raya Idulfitri.
Praktik ini telah terjadi sejak era Orde Baru, di mana dulu bersifat sukarela tanpa paksaan. Namun, kini banyak pengusaha mengeluhkan bahwa permintaan tersebut sering disertai intimidasi atau pemaksaan, bahkan hingga aksi premanisme seperti penyegelan pabrik atau ancaman fisik.
Menanggapi fenomena ormas palak THR ke pengusaha, Sandiaga Uno mengatakan, banyak perusahaan yang saat ini mengalami tantangan cashflow, sehingga akan lebih baik jika THR diberikan kepada karyawan yang memiliki hak.
“Jadi mari kita lebih para pimpinan-pimpinan yang perusahaan ini lebih juga bisa kita bantu agar bisa membayar THR kepada yang betul-betul berkeringat gitu ya itu para karyawannya dan para karyawannya inilah yang memiliki hak-hak,” ucap Sandiaga Uno dalam peluncuran Sanad Village Indonesia di Jakarta Pusat pada dikutip Minggu (23/3/2025), dikutip dari CNBC Indonesia.
Sandi menyebut, bahwa saat ini kondisi ekonomi penuh tanganan sehingga harus segera harus dibalikkan kondisinya sehingga tidak mengganggu iklim investasi.
Menurut Sandi, kalau setiap ada pabrik harus menangani permintaan begitu banyak ragam dan ini akan semakin membuat iklim investasi negatif, dikhawatirkan dan cenderung mereka lebih buka pabrik di tempat lain.
Dampaknya, kata Sandi, akhirnya akan berujung pada PHK dan ketidaktersediaannya lapangan kerja.
“Padahal kita betul-betul harus menarik investasi untuk membuka peluang usaha dan lapangan kerja,” ungkap Sandiaga.
Eskalasi kekerasan
Wakil Ketua Apindo Jakarta Nurjaman, menyebut bahwa jumlah ormas yang meminta THR semakin banyak pasca-reformasi, bahkan disertai dengan ancaman.
Ketua API Ian Syarief bahkan melaporkan pengalaman pribadi di mana petugas keamanan pabriknya dicekik karena menolak memberikan THR.
Hal ini, kata Syarief, menunjukkan adanya eskalasi kekerasan dalam kasus-kasus tertentu. Dampaknya tidak hanya dirasakan secara finansial, tetapi juga secara psikologis, mengganggu iklim usaha dan berpotensi menakuti investor.
Pemerintah dan berbagai pihak telah merespons fenomena ini. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyatakan bahwa pemalakan adalah tindak pidana yang harus ditangani aparat hukum.
Polri juga menegaskan akan menindak tegas oknum ormas yang terlibat premanisme. Namun, ada pula pandangan berbeda, seperti dari Wakil Menteri Agama Muhammad Syafi’i, yang menyebut praktik ini sebagai bagian dari budaya Lebaran yang tak perlu dipermasalahkan.
Editor: Jagad N