Opini  

Memahami Megakorupsi Hampir 1 Kuadriliun Oleh Pertamina Patra Niaga

Achmad Nur Hidayat

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ

Korupsi 193,7 Triliun Kurun Versus Rp968,5 Triliun Kurun 2018-2024

Kasus megakorupsi yang melibatkan Pertamina Patra Niaga telah menciptakan gelombang besar dalam perekonomian dan politik Indonesia. Angka yang mengemuka bukan sekadar miliaran atau triliunan, tetapi hampir mencapai satu kuadriliun rupiah dalam kurun waktu enam tahun, dari 2018 hingga 2024.

Jaksa Agung mengungkapkan bahwa hanya dalam satu tahun yaitu 2023, negara mengalami kebocoran sebesar Rp193,7 triliun. Jika dijumlahkan dari 2018-2023, angka itu membengkak menjadi Rp968,5 triliun, begitu kata Jaksa Agung (27/2).

Ini bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan sebuah cerminan betapa sistemik dan mengakar kebocoran keuangan negara akibat praktik yang melibatkan oknum di jajaran elite migas.

Blending versus Oplos

Salah satu titik krusial dalam skandal ini adalah perdebatan antara blending dan oplos.

Pertamina bersikeras bahwa proses blending merupakan praktik yang sah dalam industri minyak dan gas untuk meningkatkan kualitas bahan bakar.

Namun, temuan Kejaksaan Agung membuktikan bahwa ada indikasi pencampuran ilegal dengan modus mencampur bahan bakar RON rendah (88) untuk dijual sebagai bahan bakar dengan kualitas lebih tinggi (92).

Inilah yang disebut oplosan, sebuah praktik yang bukan hanya merugikan negara, tetapi juga merugikan konsumen yang membayar lebih mahal untuk kualitas yang tidak sesuai.

Kurangnya transparansi dalam proses blending ini menciptakan ruang abu-abu yang memungkinkan pengoplosan terselubung.

Sistem Pengawasan versus Titipan

Indonesia memiliki sistem pengawasan BBM yang secara teori seharusnya mampu mencegah penyimpangan. Lemigas dan Ditjen Migas bertugas melakukan pengujian serta memastikan distribusi sesuai regulasi.

Namun, kenyataannya, sistem ini masih rentan terhadap infiltrasi kepentingan dari berbagai pihak.

Lemahnya pengawasan justru membuka celah bagi praktik titipan, di mana kepentingan segelintir elite lebih berkuasa dibandingkan regulasi.

Mekanisme pengujian dan sertifikasi BBM tidak transparan, dan sering kali hasil uji mutu dapat dinegosiasikan sesuai kepentingan.

Skandal ini membuktikan bahwa regulasi yang ada masih dapat dimanipulasi, bukan hanya oleh mafia migas, tetapi juga oleh individu yang seharusnya bertanggung jawab memastikan kepatuhan industri.

Kerugian Negara Versus Kerugian Masyarakat

Negara kehilangan hampir satu kuadriliun rupiah akibat praktik-praktik ilegal dalam tata kelola minyak dan BBM.

Namun, bukan hanya negara yang dirugikan. Masyarakat juga menanggung beban ekonomi yang tidak seharusnya mereka pikul.

Konsumen membayar harga tinggi untuk BBM yang kualitasnya tidak terjamin.

Peningkatan harga BBM berdampak langsung pada kenaikan harga barang dan jasa, yang ujung-ujungnya memperparah beban ekonomi rakyat kecil.

Sementara itu, subsidi yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat justru menjadi lahan bancakan bagi segelintir elite.

Petinggi Mafia Versus Petinggi Pertamina Patra Niaga

Kejaksaan Agung telah menelusuri jejaring mafia yang terlibat dalam skema ini.

Modusnya begitu rapi, melibatkan para petinggi di dalam Pertamina Patra Niaga yang bekerja sama dengan pihak luar untuk mengatur mekanisme pencampuran dan distribusi BBM.

Beberapa tersangka yang telah ditetapkan membuktikan bahwa ini bukan sekadar kasus individu, melainkan jaringan besar yang melibatkan berbagai kepentingan.

Selama bertahun-tahun, mafia ini beroperasi nyaris tanpa hambatan, menikmati keuntungan besar dengan menekan ekonomi rakyat.

Mereka memiliki pengaruh politik, koneksi bisnis, dan akses terhadap regulasi yang seharusnya melindungi kepentingan publik.

Publik Bisa Apa? Rekomendasi

Masyarakat tidak bisa tinggal diam.

Kasus ini membuktikan bahwa korupsi di sektor energi berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari rakyat.

Ada beberapa langkah yang bisa diambil publik untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola BBM.

Pertama, mendesak pemerintah untuk meningkatkan transparansi dalam distribusi dan harga BBM, termasuk membuka akses informasi tentang proses blending.

Kedua, memperkuat pengawasan independen dengan melibatkan lembaga swadaya masyarakat dan media sebagai pengawas eksternal.

Ketiga, mendukung Kejaksaan Agung dalam upaya pemberantasan mafia migas dengan memastikan bahwa kasus ini tidak berhenti di beberapa individu, tetapi juga menelusuri aliran dana dan keterlibatan pihak-pihak lain yang selama ini bersembunyi di balik sistem.

Pesan Masa Depan

Kasus ini harus menjadi momentum reformasi total dalam tata kelola energi nasional.

Jika hampir satu kuadriliun rupiah bisa bocor hanya dalam enam tahun, berapa banyak lagi yang akan hilang dalam dekade mendatang jika sistem ini tidak segera dibenahi?

Kepercayaan publik terhadap pemerintah dan Pertamina telah terguncang, dan satu-satunya cara untuk memulihkannya adalah dengan langkah konkret yang menunjukkan keberpihakan pada rakyat.

Jika kita terus membiarkan sistem ini berjalan tanpa perubahan, maka masa depan bangsa akan terus dikendalikan oleh segelintir mafia yang bermain di balik regulasi dan kebijakan.

Ini bukan sekadar soal angka, tetapi soal masa depan energi nasional dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

END

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *