Oleh: Inas N Zubir *)
Beberapa pengamat politik dan politisi menuduh bahwa Jokowi telah merusak demokrasi di Indonesia. Namun, seringkali pernyataan ini dilontarkan dengan penuh emosi, tanpa pemahaman mendalam tentang makna di balik kata-kata tersebut. Banyak dari mereka mengungkapkan kekecewaan ini sebagai respons terhadap kegagalan calon yang mereka dukung dalam Pilpres 2024, sehingga analisis mereka menjadi kurang objektif.
Begitu juga dengan timdakan Hakim MK, Anwar Usman, yang menuai kritik keras dari berbagai kalangan yang menuduhnya merusak demokrasi. Hal ini terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengizinkan kepala daerah di bawah usia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, dengan syarat bahwa mereka pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Namun, penting untuk dicatat bahwa keputusan tersebut diambil secara demokratis oleh para hakim MK, yang bertugas memastikan keadilan dan kepatuhan terhadap konstitusi. Tuduhan yang dilontarkan seharusnya dilihat dalam konteks lebih luas mengenai proses hukum dan demokrasi yang berjalan.
Tuduhan-tuduhan tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi, melainkan lebih mendekati praktik otoritarian. Dalam konteks ini, nampak-nya keinginan para pengamat dan politisi tersebut harus terealisasi tanpa mempertimbangkan pendapat atau hak orang lain. Siapapun yang berbeda pandangan atau tidak sejalan dengan mereka, maka dianggap sebagai ancaman yang perlu dilawan, bahkan dimusnahkan. Pendekatan semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi yang menekankan pada toleransi, dialog, dan penghormatan terhadap keberagaman.
Para pengamat dan politisi otoriter tersebut seharus-nya sadar, bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan dipegang oleh rakyat, baik secara langsung maupun melalui wakil yang dipilih dan bukan apa kata mereka. Dalam demokrasi, prinsip utama adalah partisipasi warga negara dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka, termasuk pemilihan pemimpin dan pembuatan kebijakan.
Partisipasi warga negara dalam pengambilan keputusan seharusnya tidak terbatas pada pemilihan wakil rakyat, kepala daerah, dan presiden. Warga juga berhak untuk mengajukan gagasan dan aspirasi mereka. Jika gagasan dan keinginan tersebut tidak diakomodasi oleh wakil rakyat dalam peraturan dan perundang-undangan yang mengatur kehidupan bermasyarakat, maka warga negara dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi melalui jalur judicial review (JR). Hal ini menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa suara masyarakat didengar dan diperhatikan dalam proses legislasi.
Salah satu dasar demokrasi yang paling penting adalah kedudukan hukum yang sama bagi semua individu dalam suatu negara, tanpa memandang status sosial. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang setara di depan hukum. Larry Diamond, profesor di Stanford’s Freeman Spogli Institute for International Studies, pemikir penting dalam diskusi tentang demokrasi dan pengembangan sistem demokrasi di berbagai negara mengatakan, apabila seseorang yang memiliki hak pilih mengalami pembatasan dalam hak untuk dipilih, hal tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip demokrasi.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, setiap warga negara yang memenuhi syarat harus memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dipilih dalam pemilihan umum. Namun, kenyataan-nya terjadi pembatasan hak demokrasi warga negara Indonesia terhadap hak untuk dipilih, yakni dalam undang-undang Pemilu dan undang-undang Pilkada. Undang-undang tersebut menciptakan diskriminasi berdasarkan latar belakang threshold usia peserta Pilpres dan Pulkada yang mengekang hak politik individu. Situasi ini merusak prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti keadilan, kesetaraan, dan partisipasi, serta menghambat terciptanya sistem pemerintahan yang inklusif dan representatif.
Kesetaraan dalam demokrasi di Indonesia diatur dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Pernyataan ini sejalan dengan pandangan Larry Diamond dalam karyanya “The Democratic Revolution: Experiences and Prospects” (2014), yang menekankan pentingnya kesetaraan dalam partisipasi politik.
Selain itu, prinsip ini juga diatur dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak pilih berhak untuk dipilih. Oleh karena itu, jika seseorang berhak memilih pada usia 17 tahun, maka hak untuk dipilih juga harus diatur pada usia yang sama, yaitu 17 tahun, untuk memastikan kesetaraan yang sejati dalam demokrasi. Pembatasan usia dalam UU No. 7 Tahun 2017 harus dianggap sebagai pembangkangan terhadap Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dan bertentangan dengan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketika saya menjabat di DPR-RI periode 2014-2019 dan berpartisipasi (BKO) dalam panitia khusus (pansus) RUU Pemilu yang kemudian menjadi UU No. 7/2017, saya selalu mempertanyakan tentang ada atau tidak-nya kajian ilmiah yang mendasari threshold usia calon presiden dan calon wakil presiden dari 35 tahun menjadi 40 tahun? Namun, tidak ada satu pun peserta rapat pansus yang mampu menunjukkan kajian ilmiah tersebut. Semua peserta rapat sepakat dengan alasan yang sama: “Rasa-rasanya, usia capres/cawapres lebih dewasa di usia 40 tahun ketimbang di usia 35 tahun.” Pendekatan ini mencerminkan kurangnya dasar yang kuat dalam pengambilan keputusan tentang perunahan usia Capres/Cawapres dari 35 tahun menjadi 40 tahun yang seharusnya didasarkan pada analisis yang lebih mendalam dan objektif dan bukan berdasarkan perasaan.
Usia calon presiden dan calon wakil presiden merupakan norma hukum yang seharusnya ditetapkan berdasarkan pertimbangan yang rasional dan objektif, bukan semata-mata berdasarkan perasaan pembuat undang-undang. Dalam proses legislasi, penting untuk melandaskan keputusan pada kajian ilmiah, data empiris, dan analisis yang mendalam agar norma tersebut dapat mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara adil. Keputusan yang diambil oleh legislator tanpa dasar yang kuat dapat merugikan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan, serta mengabaikan hak-hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu, penetapan usia capres dan cawapres harus melalui proses yang transparan dan berbasis pada argumen yang valid, demi menjaga integritas dan legitimasi sistem pemilihan.
Peraturan dan perundang-undangan yang dibuat berdasarkan perasaan, tanpa didukung oleh kajian ilmiah dan analisis yang mendalam, dapat merusak pilar-pilar demokrasi. Ketika keputusan legislasi tidak didasarkan pada data yang objektif dan kebutuhan masyarakat, maka legitimasi hukum dari undang-undang tersebut harus dipertanyakan. Pendekatan yang subyektif dalam pembuatan undang-undang berpotensi mengabaikan hak-hak warga negara, menciptakan ketidakadilan, dan menghambat partisipasi politik yang sehat. Tanpa fondasi yang kuat ini, sistem hukum dan demokrasi dapat menjadi rapuh dan kehilangan kepercayaan publik.
Dengan demikian, dari uraian di atas, jelas bahwa kerusakan dalam sistem demokrasi tidak dapat disalahkan kepada Jokowi maupun Anwar Usman. Sebaliknya, kerusakan demokrasi tersebut justru terjadi sejak proses pembahasan RUU Pemilu yang kemudian menjadi UU No. 7/2017. Pembatasan dan ketentuan-ketentuan yang tidak berdasar pada kajian ilmiah serta analisis yang objektif menunjukkan bahwa ada kelemahan dalam proses legislasi yang mengancam prinsip-prinsip demokrasi. Oleh karena itu, penting untuk menilai kembali proses pembuatan undang-undang dan memastikan bahwa setiap keputusan diambil dengan mempertimbangkan kepentingan dan hak-hak seluruh warga negara, demi menjaga integritas sistem demokrasi.
Politisi Senior Partai Hanura *)