Catatan D. Supriyanto Jagad N *)
Harun Masiku, tentu publik tidak asing lagi mendengar nama politisi PDI Perjuangan itu, yang kini raib bak ditelan bumi.
Nama Harun Masiku menyentak perhatian publik karena diduga menyuap Wahyu [Komisioner KPU] sebesar Rp 800 juta demi meloloskannya ke DPR melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) menggantikan Nazaruddin Kiemas, adik ipar Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang meninggal padahal mendapat suara terbanyak.
Suap dilakukan karena Harun bukanlah caleg yang mestinya menggantikan Nazaruddin. Ia ada di urutan ke-6, jauh di bawah Nazaruddin yang seharusnya digantikan oleh caleg dengan perolehan suara tertinggi kedua.
Pengejaran terhadap Harun sempat membuat heboh ketika pada 8 Januari 2020 malam, lima penyidik KPK yang membuntuti keberadaan Harun di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) justru diadang petugas kepolisian, diinterogasi, bahkan dites urine.
Harun Masiku seperti sosok sakti mandraguna dan menjadi bulan-bulanan politik. Kemanakah Harun Masiku ngumpet? Apakah harus bertanya pada rumput yang bergoyang?? Entahlah…
Sejumlah tokoh politik pun ikutan gemes mencari Masiku. Bahkan mantan politisi PDIP yang sekarang menyeberang ke Gerindra, Maruarar Sirait ikutan gemes, dan membuat sayembara, siapa yang dapat menangkap Harun Masiku, akan diberi hadiah Rp 8 milyar, cash…
Kalau dulu menurut berita ada duit sogokan ke oknum KPU sekitar 800 jutaan buat meloloskan Harun Masiku jadi anggota DPR, sekarang Ara (nama panggilan Maruarar Sirait) malah menawarkan sepuluh kali lipatnya, delapan em!
Angka yang cukup fantastis, delapan em, lho…
Benar-benar edan, betapa berharganya seorang pecundang macam Harun Masiku ini….
Memang “ajakan” Ara untuk menemukan Harun Masiku seolah parodi kepada Hasto, atau bernuansa sindiran yang nyelekit. Tapi ajakan ini sebetulnya dilatarbelakangi kasus yang sangat serius dampaknya. Kasus Harun Masiku tidak bisa dilihat dari perspektif uang sogokan yang “cuma” delapan ratusan jutaan.
Karena kasus Harun Masiku sesungguhnya adalah contoh par-excellence dari ambisi kekuasaan yang menabrak demokrasi, etika politik dan rasa keadilan.
Petualangan politik Harun Masiku ini, mirip dengan cerita wayang Sugriwa-Subali, Perebutan Tahta dan Pengkhianatan
Pertempuran sengit menggema di hutan belantara. Dua kera putih saling beradu kekuatan, mempertaruhkan tahta dan harga diri. Sugriwa dan Subali, dua saudara kandung, terjebak dalam pusaran ambisi dan dendam.
Sugriwa dan Subali adalah putra Dewi Anjani dan Resi Gotama. Sejak kecil, mereka telah menunjukkan bakat dan kekuatan yang luar biasa.
Ketika dewasa, mereka dikaruniai kesaktian luar biasa. Subali memiliki ilmu sakti tanpa lawan, sedangkan Sugriwa memiliki ilmu pancasona yang memungkinkannya berubah menjadi raksasa.
Konflik bermula ketika Subali merebut tahta Kerajaan Kiskenda dari Sugriwa. Sugriwa diusir dari kerajaan dan hidup dalam pengasingan. Di tengah keputusasaannya, Sugriwa bertemu dengan Rama yang sedang mencari Dewi Shinta.
Sugriwa melihat peluang untuk merebut kembali tahtanya. Ia berjanji membantu Rama mencari Dewi Shinta dengan syarat Rama membantunya mengalahkan Subali. Rama setuju, dan sebuah rencana pun dirancang.
Rencana tersebut melibatkan Hanoman, kera putih sakti yang merupakan anak angkat Anjani dan Subali. Hanoman diutus untuk memancing Subali keluar dari kerajaan. Ketika Subali keluar, Rama berpura-pura bertarung dengan Sugriwa.
Sugriwa, dengan bantuan Rama, berhasil membunuh Subali. Namun, kemenangan itu diraih dengan cara yang tidak terhormat. Kematian Subali yang curang ini menimbulkan penyesalan dan kutukan dari para dewa.
Kisah Sugriwa-Subali bukan hanya tontonan yang menghibur, tetapi juga kisah tentang perebutan tahta dan pengkhianatan. Kisah ini menunjukkan bagaimana ambisi dan rasa dendam dapat membawa kehancuran dan tragedi.
Kisah ini juga mengingatkan tentang pentingnya menjaga persaudaraan dan nilai-nilai luhur seperti kejujuran dan keadilan. Kematian Subali menjadi simbol tragedi akibat nafsu dan keserakahan yang mencoreng ikatan persaudaraan.
Seperti dalam politik, dendam, kekuasaan, saling menyandra, saling membunuh hanya untuk kekuasaan…
Harun Masiku adalah contoh betapa ribednya dan licik. Politik yang seharusnya bersih, dikotori oleh syahwat kepentingan untuk menutupi kecurangan.
Seperti kata Maruarar Sirait yang heran sampai saat ini Masiku masih menjadi buron
“Kenapa sih Harun Masiku bisa menghilang? Siapa yang menghilangkan? Kasus apa yang di belakang dia? Apa yang dia urus? Gitu ya, Mas Hasto. Politik itu suci, membela yang benar, membantu yang lemah, dan membongkar kasus-kasus besar yang selama ini tertutup,” demikian sindir Ara kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
“Supaya kebenaran ditegakkan,” jawab Maruarar singkat ketika dimintai konfirmasi terkait pernyataannya.
Maruarar menyebut sayembara itu sekadar meningkatkan partisipasi publik. Selain itu, dia menyebut Indonesia negara hukum sehingga harus ditegakkan.
“Partisipasi publik, negara hukum, hukum harus ditegakkan,” ujar dia.
Pengkhianatan terhadap etika politik dan nilai-nilai demokrasi secara gamblang dipertontonkan tanpa rasa malu sedikitpun. Arogansi kekuasaan ditunjukan dengan telanjang, tanpa tedeng aling-aling.
Cacat demokrasi dalam rupa skandal memalukan
Kita sepaham dengan politisi senior Sabam Sirait yang bilang politik itu sejatinya suci. Aristoteles menyatakan bahwa seharusnyalah politik dipakai masyarakat untuk mencapai kebaikan bersama (bonum commune, bonum publicum)
Owalah Masiku….Masiku…
*) Pekerja Media, Penikmat Kopi Pahit