Oleh: Andre Vincent Wenas
Rahayu Saraswati Djojohadikoesoemo, ia pegiat sekaligus Ketua Umum Jaringan Nasional Anti-Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), ia pun anggota DPR-RI. Bersama Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus, seorang pastor Katolik yang juga Ketua Harian Jaringan Nasional Anti-Tindak Pidana Perdagangan Orang membela Inspektur Polisi Dua (Ipda) Rudy Soik dari institusi Polri di Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur.
Ipda Rudy Soik jadi tertuduh dan akhirnya dipecat tidak dengan hormat lantaran membongkar praktek Mafia BBM yang diperuntukan bagi para nelayan di Nusa Tenggara Timur. Ia terjerembab masuk pula ke “jaringan mafia” yang diduga melibatkan aparat penegak hukum, khususnya di Polda NTT.
Terhadap hal ini Rahayu Saraswati balik berkomentar melalui rilis resminya pada 12 Oktober 2024, “Pemecatan Rudy merupakan kemunduran institusi penegakan hukum. Seharusnya kepolisian memberikan apresiasi atas kerja-kerja anggota polisi seperti saudara Rudy Soik, yang banyak membuka tabir kasus-kasus yang merugikan banyak orang.”
Nusa Tenggara Timur adalah salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Jaringan Mafia BBM ini tidak ambil pusing dengan status provinsi termiskin itu, selama rakyat di provinsi ini bisa diperas maka bak lintah mereka akan sedot terus darahnya.
Operasi jaringan Mafia BBM ini dikatakan berkorelasi pula dengan praktek jahat perdagangan orang. Manakala situasi makin mencekik, peluang usaha pupus, maka jalan terakhir yang mereka bisa lihat adalah menjual dirinya. Kamuflase pertama adalah sebagai pekerja migran, namun ujungnya prostitusi. Kisah lama yang menyayat hati.
Siapa mafia BBM di NTT itu? Dari pemberitaan kita membaca ada indikasi kuat konspirasi antara pengusaha dan aparat penegak hukum (dalam hal ini pihak kepolisian) yang bermain kotor disitu.
Kecurigaan ini memang perlu pembuktian hukum, namun upaya kesana perlu keberanian dan ketahanan mental yang tinggi. Gerak oknum di jejaring ini sangat jahat, mereka bisa saja mengancam keselamatan mereka yang nekad mengganggu operasi mereka.
Jadi Rahayu Saraswati bersama Romo Paschalis dan Ipda Rudy Soik mesti berhadapan dengan orang-orang jahat ini. Bahkan Anggota DPR dari Komisi III Benny K. Harman sampai menduga bahwa Kapolda NTT Irjen Pol. Drs. Daniel Tahi Monang Silitonga, SH., telah disesatkan dengan laporan-laporan palsu yang masuk ke mejanya. Sehingga keputusan yang diambilnya bisa salah dan malah melanggengkan praktek kotor para jejaring mafia BBM itu.
Mari kita pantau dan dukung terus perjuangan mereka. Semoga langkah berani yang diambil Rahayu Saraswati, Romo Paschalis dan Rudy Soik ini bisa memulihkan citra Kepolisian NTT yang sedang terpuruk. Kisah ini bakal seru dan menegangkan.
Pertanyaannya, apakah mafia BBM serupa juga ada di provinsi lain? Apakah mereka juga berkelindan dengan aparat kepolisian setempat? Quo vadis kepolisian Indonesia?
Beberapa tahun lalu kita sempat dihebohkan dengan kasus besar soal BBM, yaitu kasus TPPI, kependekan dari PT Trans Pacific Petrochemical Indonesia. Katanya negara dirugikan sampai Rp 37 triliun. Fantastis. Ini kejadian sekitar tahun 2008.
Ada nama Raden Priyono, ia adalah mantan kepala BP Migas yang saat ini sedang menjalani hukuman penjara, ia sudah beberapa tahun berada dibalik jeruji besi. Apa masalahnya?
Kisahnya, tahun 2008 TPPI mandeg beroperasi. Lalu lalu wapres JK mengadakan rapat “penyelamatan TPPI” di kantor wakil presiden. Dihadiri Menteri ESDM, Ka BPH Migas, Dirut Pertamina, Dirjen Anggaran dan Kekayaan Negara sampai Dirut PT TPPI.
Mandegnya operasi TPPI akibat pasokan bahan bakunya distop Pertamina. Kenapa distop? Lantaran ada tunggakan kewajiban TPPI kepada Pertamina yang belum dilunasi. Begitulah kira-kira, supaya tidak terlalu teknis pembahasannya.
Dari rapat di kantor Wapres JK itu, diputuskan agar pasokan ke TPPI dilanjutkan supaya bisa memproses BBM Premium untuk kebutuhan Jawa Timur. Singkat cerita, pasokan kondensat pun dilaksanakan Pertamina sejak awal 2009 sampai 2011 sebanyak 33 juta barrel. Nilainya USD 2.72 milyar (atau sekitar Rp. 37 Triliun kala itu).
Kemudian, TPPI telah menyetorkan balik kepada negara sebesar USD 2,59 milyar. Masih kurang USD 128 juta dan dicatat sebagai utang TPPI kepada negara, atau piutang negara kepada TPPI. Bisnis jalan terus.
Lalu, entah bagaimana detailnya, gak begitu jelas, jadi ribut. Sampai TPPI didakwa tidak bayar utang dan merugikan negara Rp 37 trilyun. Juga tuduhan lain soal penunjukan langsung, dll. Walah ruwetlah… Ujungnya Kepala BP Migas kala itu, Raden Priyono, yang harus menanggung semua “kesalahan” itu.
Gampangnya, ia mesti jadi kambing hitamnya, dan menelan semua pil pahit dengan mendekam di penjara. Ini kisah lama yang sangat menyayat hati.
Dua fenomena tentang skandal Mafia BBM/Migas. Rahayu Saraswati dan Raden Priyono yang berhadapan dengan tembok Mafia BBM/Migas. Akal sehat dan logika publik dibikin macet tatkala menelaah kedua kasus ini.
Kabarnya Rahayu Saraswati Djojohadikoesoemo bakal melapor ke Presiden Prabowo Subianto yang nota bene adalah pamannya. Bagaimana kelanjutannya? Kita pantau terus.
Tapi Raden Priyono sudah tidak bisa melapor kemana-mana lagi. Tragis, ia paling banter ia hanya bisa mengeluh ke tembok penjara yang bisu. Dan kisahnya seperti terus menerus melapor ke hati nurani rakyat Indonesia yang masih peduli. Seperti apakah kelanjutannya?
Seperti wanti-wanti yang disampaikan Nabi Musa saat membawa bangsanya keluar dari rejim Firaun, “Suap janganlah kauterima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar.”
Adakah praktek suap di kedua kasus ini?
Tembok Mafia Hukum dan Mafia BBM/Migas memang tebal sekaligus menggoda namun berbahaya. Tapi seperti kisah tembok Yerikho dulu, tembok yang tebal dan kokoh, akhirnya roboh akibat sangkakala terompet dan gempita pasukan Nabi Yosua.
Maka suara kebenaran memang harus terus ditiupkan, dengan gegap gempita, demi merobohkan pemutarbalikan perkara oleh para penyesat itu.
Jakarta, Senin 4 November 2024
Andre Vincent Wenas,MM,MBA., pemerhati masalah-masalah ekonomi dan politik.