Oleh: Josef Herman Wenas
Akhir minggu lalu, Ketua DPR-RI periode 2019-2024 Puan Maharani mengatakan persiapan pelantikan para anggota DPR-RI baru hasil Pemilu 2024 sudah 90% dan akan dilaksanakan pada Selasa, 1 Oktober 2024.
Apa sebetulnya maksud Puan? Kan persiapan ini bukan sesuatu yang entirely new? Ini kan recurring event 5 tahunan di DPR-RI, yang sudah berlangsung sejak awal Reformasi. Apa yang extra ordinary sehingga kali ini hanya mencapai 90%?
Lalu yang 10% belum selesai itu urusan apa?
Yang 10% belum selesai diurus itu terkait dengan “menu makanan yang sudah disiapkan” seperti dibilang oleh Sufmi Dasco (Jumat, 27/9). Ini terkait negosiasi antara Prabowo Subianto (KIM+) dan Megawati Soekarnoputri (PDIP). Silahkan disimak AI terakhir saya soal ini.
Nampaknya “menu makanan yang sudah disiapkan” oleh Prabowo-KIM+ itu belum sepenuhnya sudi disantap oleh pihak Megawati-PDIP. Dan hal ini menjadikan Puan Maharani dan putrinya Pingka Haprani pusing kepala.
Periode Pemerintahan 2024-2029 akan menjadi pengalaman pertama Pingka sebagai politikus Gen Z (asal Dapil IV Jateng) yang lahir 8 Desember 1998. Sekaligus sebagai fase pertama kaderisasi dinasti Soekarno “Gen-4” di PDIP, menyusul jejak ibunya yang “Gen-3.”
Dan Anda sudah paham, sejak era Reformasi persamaan real politics dalam Trias Politica kita adalah PEMERINTAHAN = EKSEKUTIF + LEGISLATIF. Bukan seperti di era Orde Baru yang PEMERINTAHAN = EKSEKUTIF saja. Silahkan disimak lagi AI terkait.
Sekarang mari kita bahas soal posisi politik Puan Maharani ini.
**
Apakah Puan Maharani pada Selasa 1 Oktober 2024 besok akan ditetapkan sebagai Ketua DPR-RI periode 2024-2029? Jawabannya, ya. Sudah pasti!
Memangnya sudah ada kesepakatan dengan KIM+ (pemegang 81% “saham” di DPR-RI) soal Puan jadi Ketua DPR-RI? Belum. Lha, kok bisa?
Nah, ini yang publik umumnya— baik pengamat profesional maupun amatiran seperti saya— missed out detilnya, padahal amat penting dan menentukan. “The devil is in the details,” jarene wong Londo.
Selasa besok (1/10), Puan Maharani DIPASTIKAN menjadi Ketua DPR-RI karena hal itu adalah PERINTAH UNDANG-UNDANG. Tidak ada urusannya dengan “quid pro quo” antara KIM+ dan PDIP. Kan yang berlaku masih UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Yang populer disebut UU MD3.
Pasal 427D ayat 1 huruf “b” dalam UU MD3 ini mengatakan “Ketua DPR adalah anggota DPR dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.”
Jadi tidak perlu pusing sambil berfantasi soal kenapa besok Puan akan tetap jadi Ketua DPR-RI. Itu pasti, karena itu perintah UU. Yang jadi point of analysis justru pertanyaan: Apakah Puan Maharani akan tetap berada di posisi Ketua DPR-RI sampai dengan 1 Oktober 2029? Perhatikan tahunnya!
Pertanyaan inilah yang menjadi bagian penting dalam “menu makanan yang sudah disiapkan” oleh Sufmi Dasco (KIM+), yang dalam bahasa Puan Maharani (PDIP) masih “tinggal 10% lagi persiapan yang belum selesai.”
Inilah salah satu “pointers of negotiation” diantara mereka, yang membuat pertemuan Prabowo-Megawati belum bisa akur sampai hari ini. Sebab, faktanya, per hari ini UU MD3 ini sudah masuk kedalam Prolegnas Prioritas DPR-RI untuk direvisi.
[Prolegnas = Program Legislasi Nasional = rencana kerja tahunan DPR RI terkait pembuatan suatu UU baik revisi UU maupun UU baru]
Pimpinan DPR-RI itu bersifat kolektif-kolegial. Yang menentukan adalah “pemegang saham” terbesarnya. PDIP cuma punya 19% kursi, sedangkan KIM+ punya 81% kursi.
Puan di DPR-RI bisa bernasib seperti Ketua TKN-nya, tuan Arsjad Rasjid, di Kadin. Sama-sama diturunkan di tengah jalan. Melalui pintu masuk proses legislasi yang namanya Revisi UU MD3.
**
Apakah Puan Maharani perlu diturunkan ditengah jalan? Tergantung sikap politik Puan-PDIP sendiri nantinya.
Eksekutif yang bertekad men-TRANSFORMASI-kan bangsa ini menuju VIE 2045 paham betul akan terjadi berbagai DISRUPSI disana-sini, entah dalam urusan politik, urusan hukum, ekonomi, sosial dan sebagainya. Itu pasti.
Maka, oleh karena PEMERINTAHAN = EKSEKUTIF + LEGISLATIF, tidak bisa Ketua DPR (simbol Legislatif) yang “saham politik”nya cuma 19% kursi, lalu cari panggung sendirian dengan mengambil posisi politik negatif terhadap upaya Eksekutif mewujudkan VIE 2045.
Berbagai DISRUPSI ini harus dicarikan penyelesaian secara bersama-sama (Eksekutif + Legislatif). Jangan ada lagi pahlawan kesiangan yang berdagang “moralitas” sambil mengkambinghitamkan “hukum.”
Yang namanya “checks and balances” itu ada di PROSES, bukan di HASIL. Adanya di Baleg, di Panja, di pembuatan Narasi Akademik, di Komisi-Komisi. Bukan di Sidang Paripurna, ketika segala sesuatunya sudah tuntas dan tinggal diketok palu.
Betul, memang tidak ada kamera di tahap proses ini. Sepi dari eksposur. Sedangkan kamera-kamera memang ada banyak di Sidang Paripurna, sehingga mata publik melotot di tahap ketok palu ini.
Faktanya? Silahkan tanya PKS dan Partai Demokrat yang selama 10 tahun rajin mendemonstrasikan walkouts di Sidang Paripurna. Apakah protes mereka efektif? Sama sekali tidak.
RUU nya tetap diketok menjadi UU.
-JHW