Oleh: Josef Herman Wenas
Dalam dalam konteks politik, “site of negotiations” mengambil peran penting untuk menghindari berbagai distraksi yang tidak perlu, selain materi/pointers negosiasi itu sendiri.
Tetapi, sekarang Prabowo Subianto sudah sebagai President-elect, ditambah punya kekuatan koalisi 81% kursi di DPR. Sedangkan Megawati Soekarnoputri, walaupun jadi “pemegang saham” terbesar di parlemen dengan 19% kursi, tetapi dia sendirian, tanpa koalisi.
Kita tahu, modal politik = pengaruh politik. Modal politik Prabowo sekarang jauh lebih besar daripada Megawati, maka pengaruh politik Prabowo pun jauh diatas Megawati. Jadi, di TAHAP PASCA PEMILU sekarang, konteks politiknya sudah sangat berbeda dibandingkan ketika Prabowo ingin berjumpa dengan Megawati di tahap PRA PEMILU. Beda banget.
Modal politik beda dengan modal sosial. Modal politik itu lebih kuantitatif, modal sosial itu lebih kualitatif. Berapa suara, berapa kursi, yang mendukung Anda, itulah modal politik; Sedangkan berapa ormas, berapa sosok elit/civil societies/celebrities/ influencers yang mendukung Anda, itulah modal sosial.
Katakanlah domain NU-struktural (elit pengurus pusat dan daerah) nadanya mendukung si A daripada si B, itu artinya Anda bisa mengasumsikan sekian puluh juta orang di domain NU-kultural (kaum Nahdliyin di grassroots) akan cenderung mendukung si A juga. Tetapi tetap saja kita tidak bisa memastikan berapa persisnya suara dari NU-kultural ini yang akan diperoleh si A, mengingat NU itu ada dimana-mana saking besarnya (di berbagai parpol, di ormas lain, sebagai ASN, dosen, profesional, artis, dsb)
Maka block vote dari NU ini merupakan “modal sosial” si A, yang masih harus dikonversikan menjadi “modal politik,” atau jumlah suara yang diperolehnya.
Sekalipun begitu, masalahnya adalah, “modal sosial” ini oleh karena berada di level grassroots, sangat sulit dikendalikan. Sifatnya cair, mengikuti isu-isu kontemporer. Bisa saja dalam urusan Pemilu, pada saat di bilik suara, seseorang memilih si A. Setelah Pemilu, karena issue-driven sifatnya, orang yang sama justru berbalik mengritik si A dalam urusan lain.
Dinamika viralnya “Peringatan Darurat” berwarna biru kemarin adalah contoh paling up to date soal ini. Dari dua proses yang sama-sama konstitusional namun berjalan paralel terhadap UU Pilkada, yaitu antara MK (sebagai penguji UU) dan DPR-RI (sebagai pembentuk UU, yang sedang melakukan merevisi), ternyata mayoritas “modal sosial” mendukung manuver politik MK. Akibatnya, DPR-RI— dan ini adalah “modal politik” Prabowo-Jokowi— terpaksa injak rem!
Jadi, kepentingan utama dibalik pertemuan antara Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri pada dasarnya adalah untuk mencari titik keseimbangan dalam kedua domain ini: “modal politik” dan “modal sosial.”
**
Ada soal stabilitas politik KOALISI BESAR yang dibutuhkan oleh Prabowo Subianto, yang ingin menggabungkan bukan saja kekuatan “modal politik” (di level elit) namun juga mampu menyatukan “modal sosial” (di level grassroots)
Saya kira tertundanya terus-menerus urusan bertemunya Prabowo-Megawati lebih kepada faktor “site of negotiations.” Dalam konteks ini, soal “dimana” menjadi penting untuk menjaga identitas, status dan wibawa masing-masing pihak. Prabowo di tahap PRA PEMILU beda dengan di tahap PASCA PEMILU.
Your place or mine? Or somewhere else. Analogi dalam sepakbola seperti bertanding di tempat netral, bukan di “home,” bukan juga di “away” bagi salah satu pihak.
Karena alasan inilah, Desa Jantiharjo, di Karanganyar, Jawa Tengah dipilih sebagai “site of negotiations” dalam Perjanjian Giyanti pada 13 Feburari 1755. Usulan “site of negotiations” dari pihak VOC, dan disepakati oleh para pihak yang berseteru, ternyata memang efektif, sebab faktanya terjadi kesepakatan. Yang akhirnya membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.
Tetapi kita tahu, sebelum Perjanjian Giyanti di tahun 1755 itu, VOC terlebih dahulu memecah kekuatan oposisi duet Pangeran Mangkubumi-Pangeran Sambernyawa yang berontak sejak 1749. VOC berhasil meyakinkan Mangkubumi untuk mendukung visi pembagian wilayah kekuasaan bersama-sama Pakubuwana III, yang sudah lebih dulu berhasil diyakinkan VOC pada bulan September 1754.
Jadi, pertemuan Prabowo-Megawati nanti sebetulnya hanya simbolik saja. Yang terjadi sebelum pertemuan itu adalah, “pointers of negotiations”-nya sekarang sudah dan sedang dilakukan diantara para elit keduabelah pihak: Puan Maharani dan Sufmi Dasco.
Saat Prabowo dan Megawati bertemu nanti, segala kalkulasi terkait MAD, segala pertimbangan BATNA dan diagnosa ZOPA sudah tuntas! MAD = minimum acceptable demand; BATNA = best alternative to a negotiated agreement; dan ZOPA = zone of possible agreement.
Dalam bahasa Sufmi Dasco kemarin (doorstop di DPR-RI, 27/9): “Menu makanannya sudah ditentukan.”
Jadi, memang tinggal tempat dan waktunya saja. Yang jelas, Prabowo akan melantik kabinetnya pada 21 Oktober, sehari setelah dilantik pada 20 Oktober 2024. Maka sejak hari ini sampai 19 Oktober adalah “window of opportunity”-nya, atau efektif hanya sekitar 20 hari lagi sejak artikel ini ditulis (28/9)
Menu “makanan” terkait MAD, BATNA dan ZOPA ini yang penting. Dan harus diturunkan dari visi besar Prabowo Subianto yang melanjutkan visi besar Jokowi, yang sama-sama memotret VIE 2045. Yang oleh Prabowo diturunkan menjadi 8 misi (Asta Cita) dan 17 program prioritas. Kalau Anda baca, Asta Cita itu kelanjutan Nawacita di Pemilu 2014 (kemudian direvisi pada Pemilu 2019 agar lebih fokus)
Sedangkan atas segala persiapan menuju VIE 2045 di era Jokowi (2014-2024), faktanya Megawati adalah proponen utama selama 9 tahun (sampai menjelang Pemilu 2024). Dengan kepala dingin, sebetulnya kita tahu berpisahnya jalan antara Jokowi dan Megawati bukan gara-gara visi kenegarawanan VIE 2045 ini, tetapi soal perbedaan di level “politicking” saja.
Semata-mata soal cara untuk mempertahankan kekuasaan. Tidak lebih, tidak kurang!
**