Budaya  

Masjid Arab, bukti Medan kota multikultural sejak dahulu

Teks foto: Masjid Al Massawa atau kerap disebut Masjid Arab di Kota Medan.

 

STRATEGINEWS.id, Medan — Medan kerap disebut sebagai kota multikultural di Indonesia sejak dahulu. Sejumlah bangunan di Medan menjadi saksi bisu bagaimana Medan terus tumbuh dengan semangat multikultural.
Salah satu bangunan yang menjadi saksi sejarah itu adalah Masjid Al Massawa atau kerap disebut Masjid Arab. Masjid ini berada di sudut simpang Jalan Temenggung dan Jalan Arab di kawasan Kesawan.

Masjid ini berada di jalan kecil tidak mencolok jika kita lewat dari areal Kesawan maupun dari Jalan Palang Merah menuju Jalan KH Zainul Arifin. Masjid ini berada di sekitar areal Pajak atau Pasar Ikan Lama. Terdapat berbagai percetakan di ruko-ruko di sekitar lokasi.

Bangunan masjid ini memiliki 2 lantai dengan 1 menara tepat di sudut simpang Jalan Temenggung dan Jalan Arab. Masjid ini kerap dipenuhi para pekerja pertokoan yang ada di sekitar lokasi.

“Masjid ini sudah lama, lebih lama dari Masjid Raya (Al-Mashun). Kalau untuk salat sehari-hari biasanya di lantai 1 aja. Kalau salat Jumat baru dipakai lantai 2,” kata seorang kakek yang menjaga penitipan sandal dan sepatu jemaah saat ditemui di lokasi, Kamis (6/3/2025).

Sejarawan Universitas Sumatra Utara (USU) M Azis Rizky Lubis, mengatakan, Masjid Arab ini dibangun sekitar 1890 dalam bentuk musala dari papan. Sesuai dengan namanya, masjid ini dibangun di atas tanah wakaf milik saudagar keturunan Arab dari Yaman, Abdurrahman Al Massawa.

“Awalnya masjid itu sebuah musala. Masjid ini dibangun tahun 1890. Penamaan masjid ini karena dulunya wakaf dari keturunan Arab, Abdurrahman Al Massawa,” ujar M Azis Rizky Lubis.

Musala yang menjadi pertapakan Masjid Arab kemudian direnovasi beberapa tahun kemudian. Renovasi dilakukan beberapa kali hingga saat ini masjid 2 lantai ini sudah menampung sekitar 600 jemaah.

Keberadaan Masjid Arab ini tidak jauh dari Masjid Lama Gang Bengkok yang merupakan salah satu masjid bersejarah di Medan yang dbangun saudagar kaya Tjong A Fie pada 1887. Ada juga Masjid Ghaudiyah di Jalan KH Zainul Arifin yang dibangun umat Islam asal India pada 1887.

Masyarakat Arab di masa itu disebut-sebut memiliki keunggulan bergaul dengan masyarakat dari etnis lain. Selain memiliki kemampuan di bidang perniagaan, mereka juga membangun madrasah atas izin para sultan saat itu.

“Karena mereka memiliki keunggulan bawaan di samping memiliki agama yang serupa dengan masyarakat Kota Medan saat itu. Mereka juga memiliki kemampuan di bidang perniagaan. Inilah yang kemudian membuat masyarakat Arab mudah diterima dan mereka ini mudah berinteraksi terutama dalam membuat madrasah atau sekolah-sekolah Islam,” ucapnya.

Kehadiran masjid ini juga dimanfaatkan sebagai tempat penyiaran agama Islam. Bahkan disebut-sebut sebagai salah satu pusat penyiaran Islam di Medan masa kolonial Belanda.

“Di zaman pendudukan Belanda, keberadaan masjid ini bukan hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga tempat sarana Penyiaran Islam. Jadi Masjid Musana ini menjadi salah satu pusat penyiaran Islam,” ungkapnya.

Keberadaan masjid ini menggambarkan bahwa Medan tumbuh dengan multikultural sejak dahulu. Manusia sebagai makhluk sosial harus bisa hidup berdampingan dengan antaretnis, ras maupun agama.

“Bahwa sebagai insan, kita tidak dapat hidup secara individu tetapi kita harus bisa hidup secara berkelompok dan bahwa kita diciptakan bukan hanya dari satu etnis, ras, dan agama,” tuturnya, seperti dikutip dari detikSumut, Senin (10/3/2025) malam.

(KTS/rel)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *