By: Inas N Zubir
Akhir-akhir ini, kita menyaksikan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) seolah melanggar ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Menurut Pasal 10 ayat (1a), MK diberikan kewenangan untuk melakukan uji materi undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dikenal sebagai Judicial Review. Namun, penting untuk dicatat bahwa pengujian ini harus dilakukan sesuai dengan batasan kewenangan yang telah ditetapkan.
Dalam Pasal 56 undang-undang tersebut, dengan tegas dinyatakan bahwa MK hanya berhak mengeluarkan amar putusan yang menyatakan bahwa permohonan Judicial Review tidak dapat diterima, atau amar putusan yang menyatakan bahwa permohonan tersebut dikabulkan. Dengan kata lain, MK harus bertindak dalam koridor hukum yang jelas dan tidak melampaui batasan kewenangan-nya yang diatur oleh UU No. 24 tahun 2003, agar tetap menjaga integritas dan kredibilitas MK
Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) akhir-akhir ini terkesan sewenang-wenang, dalam arti bahwa keputusan tersebut melebihi kewenangan yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003. Dalam beberapa kasus, MK tampak mengambil alih fungsi pembentukan undang-undang yang seharusnya menjadi tanggung jawab Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yaitu menciptakan norma-norma dalam undang-undang.
Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas mengatur bahwa DPR adalah lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membentuk norma-norma hukum. Sementara itu, MK, sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945, hanya berwenang mengadili dan menguji undang-undang terhadap konstitusi. Dengan kata lain, tugas utama MK adalah memastikan bahwa undang-undang yang berlaku tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUD 1945, bukan menciptakan norma baru.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai batasan kewenangan masing-masing lembaga yang berperan dalam pengaturan ketentuan hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Penting untuk menjaga keseimbangan antara kekuasaan legislatif dan yudikatif agar fungsi dan tanggung jawab setiap lembaga dapat berjalan dengan efektif.
Hal ini harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan rule of law, sehingga tidak terjadi tumpang tindih yang dapat mengganggu integritas sistem hukum dan keadilan bagi masyarakat. Penegakan batasan kewenangan ini sangat penting untuk memastikan bahwa setiap lembaga menjalankan perannya dengan baik, dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Apabila Mahkamah Konstitusi (MK) terus menerus dibiarkan melakukan pembentukan norma-norma baru dalam setiap putusannya, maka hal ini dapat mengakibatkan nasib undang-undang dan aturan hukum bagi 280 juta rakyat Indonesia ditentukan oleh sembilan orang hakim MK saja. Situasi ini menjadi problematik, mengingat hakim-hakim tersebut dipilih oleh DPR. Dengan demikian, seharusnya MK tidak melangkahi kewenangan DPR dalam proses pembentukan undang-undang.
Ketidakjelasan batasan kewenangan ini dapat menciptakan persepsi bahwa keputusan hukum lebih bergantung pada interpretasi individu daripada pada proses legislasi yang demokratis. Oleh karena itu, penting untuk memperjelas dan menegaskan kembali peran masing-masing lembaga agar sistem ketatanegaraan Indonesia tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Keberadaan legislasi yang transparan dan akuntabel adalah kunci untuk menjaga legitimasi hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara.