Catatan D. Supriyanto Jagad N *)
Hari ini Pilkada serentak diselenggarakan di seluruh wilayah Indonesia. Dalam beberapa hari ini, jelang pelaksanaan Pilkada, banyak dilaporkan terjadi serangan fajar di berbagai daerah untuk memenangkan calon tertentu, dengan amplop berisi uang Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu disertai foto calon dan himbauan untuk mencoblos calon tersebut.
Politik uang untuk mendapatkan kekuasaan adalah cara yang akan melukai demokrasi yang di bangun secara jujur dan adil. Mustahil kompetisi politik dapat menjadi sehat dan fair-play dengan jiwa sportif untuk menundukan diri kepada prosedur dan aturan main yang adil, terbuka serta jujur.
Politik uang sangat berbahaya untuk membangun proses demokrasi yang bersih, sebab politik uang bisa merendahkan martabat rakyat. Para calon kepala daerah yang mengunakan politik uang dalam pemilu telah merendahkan martabat rakyat. Martabat rakyat dinilai oleh hanya dengan uang dan bahan makanan yang tidak sebanding dengan lima tahun masa jabatan yang berhasil mereka rebut dengan cara ini.
Politik uang merupakan jebakan buat rakyat. Seseorang yang mengunakan politik uang untuk mencapai tujuannya sebenarnya sedang menyiapkan perangkap untuk rakyat, rakyat dalam hal ini tidak diajak bersama-sama dalam hal melakukan perjuangan perubahan, tetapi diarahkan hanya untuk memenangkan calon semata.
Saya sependapat dengan Pemerhati Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat, bahwa bolitik uang telah lama mengganggu estetika demokrasi Indonesia, menciptakan bayang-bayang yang mendung di atas pemilu yang seharusnya murni dan bersih. Pemilu 2024, dengan segala sorotannya, menjadi bukti bahwa ‘Serangan Fajar’ ini tak kunjung reda.
Dampak buruk politik uang sungguh jelas: calon pemimpin yang terlibat berisiko menjadi koruptor ketika berkuasa. Mereka mungkin merasa memiliki ‘hutang’ untuk mengembalikan investasi yang telah dikeluarkan selama kampanye, mengabaikan kepentingan publik untuk keuntungan pribadi.
Praktik politik uang oleh para calon kepala daerah dan wakil rakyat dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang merugikan.
Para politisi yang terlibat dalam praktik tersebut berpotensi menjadi koruptor saat mereka berkuasa. Para calon yang terbiasa melakukan politik uang cenderung akan mengeruk keuntungan yang lebih besar setelah mereka terpilih.
Beberapa kasus, masyarakat yang kurang edukasi terkadang berharap pada momen-momen seperti ini selama masa kampanye, karena mereka menginginkan pendapatan tambahan yang cepat.
Sayangnya, ketidaktahuan mereka tentang potensi masalah etika dan hukum yang mungkin timbul setelah pemilihan membuat mereka rentan terjebak dalam praktik ini.
Untuk itu pentingnya edukasi yang konkret dari pemerintah terkait bahaya politik uang. Edukasi tersebut harus menggambarkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh praktik politik uang terhadap tatanan pemerintahan dan kemajuan negara.
Dampak dari praktik politik uang ini tidak bisa diabaikan. Bila calon yang terlibat dalam politik uang terpilih, mereka seringkali merasa memiliki kewajiban untuk ‘mengembalikan modal’ melalui praktek korupsi yang lebih besar saat berkuasa. Ini menciptakan lingkaran setan yang merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Jangan harap negara bisa maju jika pemilihan dimenangkan melalui politik uang. Kepemimpinan yang terbentuk dari praktik ini akan cenderung menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kepentingan rakyat pun menjadi hal yang bukan prioritas bagi mereka.
Politik uang hanya akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang mudah dipengaruhi oleh para oligarki, merugikan masyarakat luas.
Akhirnya, segala bentuk pembangunan hanya akan menguntungkan segelintir orang, sedangkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat tidak akan pernah terwujud.
*) Pekerja Media, Penikmat Kopi Pahit