Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)
Pengusaha Sawit Mendapat Angin Segar, Biodiesel Terancam
Peraturan Menteri Keuangan No. 62 Tahun 2024 yang mengatur pemangkasan pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) diharapkan membawa dampak signifikan bagi sektor kelapa sawit di Indonesia. Langkah ini diambil dengan tujuan meningkatkan daya saing harga CPO Indonesia di pasar global, terutama di tengah tantangan harga yang fluktuatif.
Pemangkasan pungutan ini memberikan peluang bagi eksportir untuk menurunkan harga CPO di pasar internasional, sehingga lebih kompetitif dibandingkan dengan negara-negara produsen lain, seperti Malaysia dan Thailand.
Dampak langsung dari kebijakan ini tentu menguntungkan para pengusaha sawit. Biaya ekspor yang lebih rendah memungkinkan perusahaan untuk meningkatkan margin keuntungan, terutama bagi perusahaan-perusahaan yang selama ini tertekan oleh penurunan harga CPO global. Hal ini juga berdampak positif bagi petani sawit, karena peningkatan ekspor berpotensi meningkatkan permintaan tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan oleh petani.
Dalam jangka pendek, kebijakan ini bisa memberikan stimulus ekonomi bagi sektor hulu sawit, menyejahterakan petani, dan mendorong aktivitas ekonomi di daerah penghasil sawit.
Namun, di balik kabar baik ini, muncul kekhawatiran terkait keberlanjutan program biodiesel di Indonesia. Sebelumnya, dana yang dikumpulkan dari pungutan ekspor digunakan untuk mensubsidi program biodiesel nasional, seperti B30 dan B40.
Dengan berkurangnya pungutan, pendanaan untuk program ini juga akan berkurang, mengancam keberlanjutan transisi energi berbasis biodiesel. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), yang selama ini menjadi sumber pendanaan utama subsidi biodiesel, akan kesulitan mempertahankan program jika pendapatan dari pungutan menurun signifikan.
Daya Saing yang Lebih Kompetitif: Efek Sementara?
Di sisi daya saing, penurunan pungutan ini tentu membuat CPO Indonesia lebih menarik di mata pasar internasional, terutama di negara-negara tujuan utama seperti China dan India. Namun, perlu dicatat bahwa daya saing global tidak hanya ditentukan oleh harga. Sertifikasi keberlanjutan, kualitas produk, dan tarif impor di negara tujuan juga memegang peran penting. Sebagai contoh, meskipun harga CPO Indonesia turun, kenaikan tarif impor di India dapat mengurangi manfaat pemangkasan pungutan tersebut.
Sementara itu, Malaysia, yang merupakan pesaing utama Indonesia, terus mempromosikan minyak sawitnya dengan standar keberlanjutan yang lebih baik, seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang diminati di pasar global.
Efek positif dari kebijakan ini mungkin hanya terasa dalam jangka pendek. Jika harga CPO global tetap rendah atau terus menurun, meskipun pungutan ekspor dipangkas, daya saing ekspor sawit Indonesia bisa tergerus. Oleh karena itu, kebijakan ini sebaiknya dianggap sebagai solusi jangka pendek, dan pemerintah perlu memikirkan strategi jangka panjang yang lebih komprehensif untuk mempertahankan daya saing industri sawit.
Kekhawatiran atas Keberlanjutan Program Biodiesel
Selain dampak terhadap ekspor, salah satu perhatian utama terkait kebijakan ini adalah keberlanjutan program biodiesel Indonesia. Industri sawit Indonesia bukan hanya berperan sebagai sektor ekspor, tetapi juga mendukung program transisi energi melalui mandatori biodiesel.
Pungutan ekspor selama ini menjadi sumber utama dana untuk subsidi biodiesel. Dengan menurunnya pendapatan dari pungutan ekspor, pendanaan program biodiesel, seperti B40 dan B50, terancam. Program ini sangat penting dalam transisi energi Indonesia menuju bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, dan tanpa dukungan finansial yang memadai, keberlanjutannya bisa terhambat.
Secara keseluruhan, meskipun kebijakan pemangkasan pungutan ekspor ini memberikan dorongan positif bagi sektor sawit dalam jangka pendek, pemerintah perlu segera mencari solusi pendanaan alternatif, seperti pajak karbon, untuk menjaga keberlanjutan program biodiesel.
Tanpa solusi jangka panjang yang solid, industri sawit Indonesia bisa menghadapi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara ekspor yang kompetitif dan kontribusi terhadap program energi hijau.
END