Catatan Kebangsaan D. Supriyanto Jagad N *)
Pagi ini sangat cerah. Saya menikmati secangkir kopi liong yang dibelikan istri saya di Pasar Agung Depok. Istri saya Diana memang sangat pandai memanjakan suami. Sambil menikmati kopi, saya membaca berita seputar politik di twitter. Narasi-narasi yang disampaikan membuat saya mengelus dada. Masing-masing pendukung capres saling hujat, saling menjatuhkan, bahkan saling mengolok-olok ke ranah pribadi. Sungguh miris.
Persoalan hidup berbangsa dan bernegara, kini tengah diuji. Selain maraknya berita-berita hoaks alias tidak bisa dipertanggung jawabkan, persoalan politik juga turut mewarnai.
Dinamika politik, yang terus berkembang, dan cenderung menghangat pada pekan pekan terakhir ini, seperti bola panas yang siap menyambar siapa saja. Persoalan semakin diperparah dengan pernyataan politisi yang kadang ‘ngawur’ hanya untuk menuntaskan birahi politiknya.
Pelaku politik sering menggunakan kondisi masyarakat yang rapuh dan rawan pengaruh untuk keuntungan dan kepentingan politiknya. Kerapuhan rakyat yang tanpa disadari akan semakin menjadi bencana saat pengaruh para petualang politik masuk dalam kehidupan mereka.Kondisi seperti ini selalu terjadi ketika hajat pesta demokrasi hendak digelar.
Dalam pencarian bentuknya, politik di negeri ini dipenuhi dengan bahaya yang bisa dan kadang di setiap saat. Bahaya terbesar akibat proses dalam pencarian bentuk dalam politik itu adalah perpecahan di masyarakat. Kita bisa melihat wajah media sosial kita, dihiasi dengan berbagai hujatan atas ketidak sepahaman cara pandang dalam melihat sesuatu, karena perbedaan pilihan politik.
Sejarah mencatat banyak terjadi pengkhianatan saat bangsa ini memperjuangkan kemerdekaannya. Pengkhianat yang dengan bangganya diperbudak penjajah untuk melawan negerinya sendiri, sekedar demi lembaran uang dan mimpi jabatan.
Saya teringat apa yang pernah dikatakan Bung Karno di masa lalu,” Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri,”
Melawan bangsa sendiri, bukanlah memusihi bangsa sendiri dalam arti sebenarnya. Tantangan melawan bangsa sendiri adalah bagaimana negara dan para pemimpin harus memenuhi aspirasi rakyat dan membawa bangsa ini menuju masa depan yang lebih baik. Tantangan itu semakin berat di tengah bangsa ini sedang mencari bentuknya dalam berkehidupan politik.
Tentu, kita masih mencintai bangsa ini, sebagaimana semboyan NKRI harga mati. Bila semboyan tersebut tersemat dalam dada setiap anak bangsa, carut marut akibat tingginya tensi politik tak kan terjadi. Semua persoalan berbangsa ini harus disikapi dalam perspektif yang lebih luas, sebagai sebuah upaya menurunkan tensi politik.
Banyak para politisi kita, tidak memiliki kemampuan komunikasi politik yang baik. Saya tidak perlu sebutkan siapa-siapa politisi itu, saya rasa masyarakat sudah paham. Etika politik, komunikasi politik yang baik dan benar, dan kesantunan politik, akan menghasilkan suasana yang harmonis antar pelaku politik, antar kekuatan politik, maupun kelompok-kelompok kepentingan lainnya, sehingga muaranya akan terbangun suatu komitmen bersama untuk sebesar-besarnya kemajuan bangsa dan Negara, dengan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
Politisi yang hanya berstatemen, tanpa mampu melihat akar persoalan berbangsa secara baik dan benar, ibarat naik panggung tapi hanya sekedar berharap tepuk tangan. Ini yang merusak, akhirnya timbul kegaduhan dimana mana, timbul penyesatan-penyesatan, yang bisa merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai bagian dari sebuah bangsa yang besar, ada tugas suci yang harus kita pikul bersama, yakni memperkokoh persatuan dan fokus pada substansi membangun bangsa dari ketertinggalan.
Saya tidak ingin bangsa ini terkoyak, hanya karena cara pandang sempit dan tidak proporsional dalam mensikapi persoalan berbangsa dan bernegara ini, akibat ulah segelitir politisi yang tak tahu diri hanya ingin menuntaskan birahi dan kepentingan-kepentingan politiknya saja.
Banyak persoalan berbangsa dan bernegara, mulai dari politik, budaya, yang harus disikapi dengan jernih, dalam perspektif yang lebih luas. Tensi politik yang cenderung menghangat, banyak isu-isu politik yang berguir, yang apabila tidak disikapi dengan cerdas, berpotensi mengoyak kebangsaan kita.
Marilah sesama anak bangsa duduk bersama dan membahas masalah-masalah yang ada untuk mencari jalan keluar agar suatu persoalan tidak menjadi polemik di tatanan kehidupan sosial masyarakat.
Elit politik harus memiliki kejujuran, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati dan siap mundur dari jabatan publik bila terbukti melakukan kesalahan, dan secara moral kebijakannya bertentangan secara hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika tersebut harus diwujudkan dalam bertata krama yang baik, tidak arogan, perilaku politik yang toleran, tidak berpura pura dan jauh dari sikap munafik, tidak manipulative, tidak melakukan kebohongan publik ataupun tindakan-tindakan tidak terpuji lainnya.
Mari kita sambut hajatan pesta demokrasi ini dengan riang gembira, sebagai layaknya festival yang berbudaya, agar lahir pemimpin bangsa yang akan meneruskan estafet perjalanan bangsa ini ke depan.
Semoga, ruang itu masih ada.
*) Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Republik Indonesia