Prof. Dr. Muhammad Azhar, MA.
(Dosen FAI-Pascasarjana UMY & LARI (Lingkar Akademisi Reformis Indonesia)
Salah Satu tema aktual pada Munas Tarjih Muhammadiyah 2020 adalah tentang Fikih Agraria. Tema ini diangkat karena munculnya berbagai konflik agraria di Indonesia.
Padahal secara etika Islami, Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan: “Barangsiapa mengambil satu jengkal tanah yang bukan haknya, ia akan dikalungi tanah seberat tujuh lapis bumi di hari kiamat” (H.R. Muslim).
Artikel singkat ini merupakan sedikit rangkuman dari draft Fikih Agraria yang penulis susun bersama anggota tim: Soehada, Saptoni, Wawan Gunawan Abdul Wahid, Niki Alma, Alda, dan beberapa anggota lainnya.
Di Indonesia, sejak awal kemerdekaan, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa aturan tata kelola agraria, baik berupa undang-undang maupun peraturan pemerintah lainnya. Momentum penting dimulainya kebijakan agraria setelah kemerdekaan, yaitu pada tahun 1960, dengan terbitnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau yang dikenal sebagai UUPA.
UUPA dianggap sebagai tonggak pembaruan agraria, karena memuat hal-hal yang terkait dengan transformasi hukum agraria masa kolonial menuju hukum nasional untuk menjamin kepastian hukum, mengakhiri feodalisme dengan cara membatasi penguasaan lahan yang tidak terkendali, memberikan hak kepemilikan bagi petani yang kekurangan lahan, dan sebagai wujud pelaksanaan pasal 33 UUD 1945.
Namun dalam perkembangan pada masa Orde Baru hingga masa Reformasi, UUPA tersebut masih dipetieskan.
Pada tahun 2018 di masa pemerintahan Jokowi, sebagai implementasi visi Nawacita, telah ditandatangani Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Disebutkan dalam Perpres tersebut, bahwa penyelenggaraan Reforma Agraria dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap Tanah Objek
Reforma Agraria (TORA)
Ada kemajua dalam implementasi pembaharuan tatakelola agraria, jika dibanding pemerintah sebelumnya. Namun demikian, problem agraria di Indonesia masih terus saja membutuhkan penyelesaian. Pemerintah belum secara sungguh-sungguh melibatkan unsur lain yang cukup memengaruhi pelaksanaan pembaharuan agraria, sepertiunsur komunitas adat, lembaga swadaya masyarakat, dan agamawan. Konflik agraria terus terjadi dan pengurangan ketimpangan dalam struktur penguasaan lahan masih jauh dari harapan.
Perumusan Fikih Agraria ini merupakan bagian dari instrumentalisasi Islam sekaligus tajdid Muhammadiyah dalam menjawab kebutuhan masyarakat dan wujud kontribusi Muhammadiyah terhadap bangsa Indonesia. Dari rumusan Fikih Agraria diharap terbangun tiga ranah ijtihad sekaligus, yaitu pemikiran, etos dan gerakan.
Berbagai indikator tentang masih jauhnya hasil dibanding harapan rakyat terhadap tatakelola agraria yang dilakukan pemerintah hingga kini, antara lain dapat dilihat dari beberapa problem berikut; (1) belum tercapainya swasembada pangan dan pembangunan pertanian; (2) rusaknya ekosistem dan problem lingkungan; (3) konflik agraria yang terus terjadi; (4) terpinggirnya komunitas adat beserta tata nilai budaya bangsa; (5) krisis pedesaan; (6) masih kurangnya akses masyarakat terhadap perumahan yang layak dan ruang publik yang memadai.
Pada masa pemerintahan Jokowi, program swasembada atau kedaulatan pangan dan energi termaktub dalam visi Nawa Cita. Namun dalam implementasinya, visi pemerintahan Jokowi masih jauh dari harapan. Indonesia setiap tahun mendatangkan beras impor, terutama dari Thailand untuk memenuhi kebutuhan domestik. Berdasarkan data United Nation (PBB), impor beras Indonesia dari Thailand terbesar, terjadi pada saat Indonesia dilanda krisis finansial 1998-1999 seperti terlihat pada grafik (BPS, 2018). Problem swasembada pangan juga mendapatkan tantangan yang semakin berat seiring dengan keinginan pemerintah Jokowi untuk membangun infrastruktur di Indonesia; seperti jalan tol, jembatan, dan bandar udara yang menyebabkan semakin banyaknya konversi lahan pertanian untuk pembangunan infrastruktur.
Data menunjukkan, konversi lahan pertanian di Indonesia adalah seluas 2.917.737,5 ha sepanjang tahun 1979 – 1999. Tingkat konversi per tahun ini meningkat sepanjang tahun 1999 – 2002 mencapai 330.000 ha atau setara dengan 110.000 ha pertahunnya.
Setiap tahunnya, sebanyak 150 ribu hingga 200 ribu hektar lahan sawah berubah menjadi lahan non sawah (Sofyan Djalil, Detik 3/4/ 2018).
Sementara itu dalam penelitian Mulyani (2016), memperkirakan laju konversi lahan sawah nasional sebesar 96.512 ha per tahun. Dengan tingkat laju tersebut, lahan sawah yang ada sekarang seluas 8,1 juta ha akan menciut menjadi hanya sekitar 5,1 juta ha pada tahun 2045. Hal ini jelas akan mengancam ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, langkah pengendalian konversi lahan penting dilakukan, antara lain melalui tatakelola agraria yang baik.
Pemahaman tentang Agraria Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), pengertian agraria berkaitan dengan;
1) urusan pertanian atau tanah pertanian, dan 2) urusan pemilikan tanah. Dengan demikian, agraria dapat diberi pengertian sebagai hal-hal yang terkait dengan tanah, peruntukan, pemilikan, dan pembagian.
Dalam pasal 1 UUPA, dapat dirumuskan lima jenis sumber-sumber agraria yang mencakup: Tanah atau permukaan bumi bagi kegiatan pertanian dan pertenakan;
Perairan berupa sungai, Danau dan laut bagi kegiatan perikanan baik budidaya maupun tangkap; Hutan yang mencakup flora dan fauna di lar kategori tanah pertanian bagi kegiatan pemanfaatan hasil hutan; Bahan tambang yang mencakup seluruh ragam bahan mineral; Udara yang bukan saja “ruang di atas bumi dn air” tetapi mencakup materi udara itu sendiri yang urgensinya terasa semakin besar di tengah perubahan iklim global.
Dalam kitab al-Ardlina, karya Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam, tercantum beberapa ketentuan dalam pengelolaan tanah seperti : pengkaplingan tanah (iqtha’), menghidupkan tanah mati (ihya al-mawat), tanah untuk kepentingan umum (hima’), dan tatakelola irigasi air pada lahan (miyah al-aradli). Islam mendahulukan kepentingan hajat hidup orang banyak sebagai bentuk penjagaan jiwa, dari sekedar kepentingan privat dan golongan, investasi, dan korporasi.
Islam mengajarkan etika pemakmuran alam sebagai suatu kewajiban utama kehalifahan bagi manusia. Manusia dibenarkan melakukan eksplorasi berbagai kandungan alam (darat, laut dan udara), namun dilarang melakukan eksploitasi alam, terutama lahan tanah, secara berlebihan. Islam juga melarang umat manusia menguasai lahan secara overload yang berdampak pada kemiskinan bagi banyak orang. Etika Islam juga mengajarkan agar umat manusia menghidupkan lahan mati untuk dijadikan lahan yang lebih produktif.
Aspek Hilir Permasalahan Agraria
Hasil penelitian Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA, 2019) menjelaskan banyaknya konflik agraria yang terjadi di Indonesia, dimana mayoritas konflik terjadi di sektor perkebunan dan infrastruktur. Problematik nasional yang digambarkan oleh masifnya korupsi berskala nasional dari pusat hingga daerah. Peran negara dan pemodal, merupakan dua institusi penentu permasalahan agraria. Padahal seharusnya DPR dan masyarakat sipil yang memiliki wewenang lebih dalam hal ini. Posisi rakyat versus ketidakadilan politik, dalam hal ini terdapat kejahatan kebijakan ketika masyarakat dimarginalkan dalam banyak dimensi.
Melalui kebijakan negara, acapkali praktik tata kelola agraria ini telah meminggirkan komunitas adat, dan cenderung berpihak pada korporasi yang bersekutu dengan aparat negara dan kekuasaan. Pada masa kini, kapitalisme negara tercermin dari kebijakan pemerintah yang memberi wewenang yang sebesar-besarnya kepada para pemilik modal besar untuk menguasai sumber kekayaan Indonesia seluas-luasnya.
Tiga masalah pokok agraria, yakni: (1) Politik alokasi tanah yang tidak berpihak pada kepentingan pertanian rakyat. Hal ini terlihat dengan adanya kesenjangan yang tajam antara tanah yang dialokasikan untuk kepentingan korporasi dengan untuk kepentingan pertanian rakyat; (2) Ancaman alih komoditas petani dari pangan menjadi non-pangan.
Dalam kasus ini contohnya adalah lonjakan permintaan komoditas pertanian dunia (sawit, kopi, kakao, dsb.) yang sebagian dipenuhi dengan mengalihfungsikan lahan pangan dalam jumlah besar. Fenomena ini juga sering disebut sebagai crops booms; (3) Konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian, seperti perumahan, industri, infrastruktur, pariwisata, dsb. (Shohibuddin, 2019).
Dalam perspektif yuridis, Muhammadiyah menolak keras UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang telah diusulkan oleh Pemerintah Jokowi dan disahkanoleh DPR pada Senin, 5 Oktober 2020. Dalam pandangan Muhammadiyah, UU Omnibus Law telah dirancang secara sistematis untuk kelancaran agenda liberalisasi sumber daya alam negara, dan menguntungkan kepentingan investor, sehingga mencederai kedaulatan rakyat dan bertentangan dengan Sila Kelima Pancasila. Ada kesan bahwa Kedaulatan Bangsa digadaikan dalam UU Cipta Kerja.
Dilihat dari nilai etis dan prinsip dasar Islam tentang agraria, UU Cipta Kerja atau Omnibus Law telah menabrak hak-hak rakyat dan berakibat kerusakan dalam jangka panjang. Islam mengajarkan agar manusia tidak melakukan perbuatan yang melanggar hak masyarakat dan membuat kerusakan sebagaimana peringatan Allah dalam surah al-Syu‘arā’ (26) ayat 183: “Janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
Ke depan, pembaruan dan tata kelola agraria di Indonesia sebaiknya merujuk kembali pada prinsip-prinsip UUPA 1960. Dalam UUPA 1960 terdeskripsikan dengan jelas tentang pembaruan dan tata kelola agraria yang memberi landasan tentang kedaulatan rakyat atas tanah, tanah memiliki fungsi sosial, anti monopoli korporasi swasta, tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, pengutamaan gotong royong, tanah untuk penggarap, tanah harus dimanfaatkan dan tidak boleh ditelantarkan, dan hanya warga negara Indonesia asli yang memiliki hubungan abadi dengan sumber agraria di Indonesia.
Sebagai implementasi atas pembaruan dan tata kelola agraia untuk merebut kembali kedaulatan bangsa di bidang agraria, maka perlu adanya panduan etika hukum seputar kewajiban elemen masyarakat sipil, baik perguruan tinggi, NGO, lembaga swadaya masyarakat dalam peran edukasi dan advokasi dalam problem keagrariaan.
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memelihara sumber agraria dan melestarikannnya, mendorong secara personal dan kelembagaan, organisasi sosial kemasyarakatan, termasuk dunia usaha dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Di samping itu pemerintah juga wajib menghilangkan berbagai macam kerusakan yang muncul sebagai dampak dari aktivitas dunia usaha, serta memiliki kewajiban memperbaiki tempat tempat yang dapat menyebabkan kerusakan sumber-sumber agraria, serta wajib menyediakan asuransi terhadap kerusakan lahan dan lingkungan yang tidak bisa dicegah dan dicarikan pemecahannya.
Kehadiran dunia usaha yang merupakan bagian dari cara mewujudkan kesejahteraan sosial melalui kebijakan tata kelola agraria yang dihadirkan oleh negara, harus disertai dengan peraturan-peraturan tentang tanggungjawab sosial dunia usaha. Dunia usaha memiliki tanggung jawab atas dampak yang timbul dari keputusan dan aktivitasnya.
Dalam aktivitas Corporate Social Responsibilty (CSR) misalnya, dunia usaha melalui CSR sebagaimana Pasal 1 angka 3 UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 47 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, dinyatakan bahwa tanggung jawab sosial lingkungan adalah komitmen dunia usaha untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi korporasi sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Pemerintah juga harus menghentikan proyek-proyek dan aktivitas dunia usaha yang dapat menimbulkan kerusakan sumber agraria yang berjangka panjang dan permanen.
Secara kemasyarakatan, melalui gerakan wakaf agraria, Muhammadiyah dapat turut mengurai dan memberi solusi atas permasalahan agraria di Indonesia yang kompleks. Muhammadiyah dapat menjadi motor penggerak wakaf agraria dengan memperluas fungsi wakaf, tidak hanya untuk kepentingan keagamaan, tapi untuk kepentingan publik, komunitas, atau keluarga.
Secara skematis, Muhammadiyah dapat mewujudkan nilai dan prinsip dasar Islam dalam tata kelola agraria yaitu dengan mewujudkan fungsi sosial tanah dan ekonomi kerakyatan yang dianut negara. Muhammadiyah dapat menyediakan jasa untuk literasi dan gerakan konservasi lingkungan, pertanian, dan usaha kecil dan menengah melalui pemanfaatan sumber-sumber agraria. Struktur Muhammadiyah dapat ditransformasikan menjadi agensi untuk advokasi terhadap berbagai konflik agraria di berbagai daerah.
Edukasi tentang Urgensi Fikih Agraria
Di masa lalu, fenomena konflik agraria masih terhitung dengan jari, sehingga belum menjadi masalah yang besar dan masif. Namun seiring dengan pertambahan jumlah penduduk serta semakin sempitnya lahan perumahan, perkebunan dan pertanian, peternakan, maka dewasa ini semakin sering terjadinya konflik agraria. Untuk itu, pemerintah bersama masyarakat, perlu membuat semacam “kurikulum” agraria sebagai panduan moral (SOP) bagi masyarakat dalam menghadapi kasus rebutan lahan tanah dan sebagainya.
Demikian pula penyuluhan hukum dan UU terkait agraria. Perlu adanya advokasi hukum yang lebih spesifik bagi para korban penggusuran serta pengambilalihan paksa terhadap tanah rakyat yang sah. Jika pun ada pengambilalihan secara sah, maka upaya tersebut tetap berbasis kebijakan negara tentang regulasi sumber-sumber agraria harus mempertimbangkan akses, yaitu “siapa sajakah yang nyata-nyata dapat mengambil manfaat dari sesuatu hal, dan melalui proses-proses macam apakah mereka dapat melakukan hal tersebut” (Ribot & Peluso 2003: 154; Shohibuddin 2018:34).
Pakar hukum agraria yang kompeten, perlu melakukan judicial review Pasal 67 UU 41/1999 tentang Kehutanan, dengan argumen utama bahwa logika hukum yang dianut tidak sesuai dengan realitas sosio-antropologis di tingkat lapangan.
Mengakhiri tulisan ini ada beberapa hal terkait problem agraria lainnya yang juga butuh perhatian serius dari segenap warga bangsa: (1) Penyerobotan tanah.
Menggunakan tanah milik orang lain yang tidak digunakan tapi digunakan tanpa izin untuk kepentingan umum ataupun pribadi; (2) Disfungsi lahan. Ketika tidak sesuai peruntukan. Tanah subur, tetapi digunakan untuk bangunan; (3) Pembebasan tanah untuk tol dan infrastruktur umum. Termasuk dalam hal tol yang mengambil banyak tanah subur; (4) Rencana tata ruang dan peruntukan tanah; (5) Masjid di lahan hijau tanpa IMB; (6) Sempadan sungai. Wilayah bibir sungai yang harusnya dikosongkan akan tetapi dibangaun bahkan menjadi wilayah padat penduduk; (7) Wakaf dan permasalahan di dalamnya. Termasuk tanah wakaf yang diperjual-belikan; (8) Masjid yang dibangun di tanah kas desa; (9) Reklamasi dan permasalahan tanah di sekitarnya. Wallahu a’lam bisshawab.