Bangsa Indonesia akan menghadapi pesta demokrasi lima tahunan, untuk memilih pemimpin nasional serta memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif, baik pusat maupun daerah.
Persoalan yang selalu dihadapi oleh penyelenggara Pemilu adalah banyaknya masyarakat yang mengambil sikap untuk tidak ikut memilih atau yang lazim disebut dengan Golput (golongan putih). Data Golput pada Pilpres 2014 mencapai 29,8 persen atau 56.732.857 suara.
Data-data di atas menggambarkan begitu signifikannya jumlah masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya, baik dalam konteks pilpres, pileg, maupun pemilihan kepala daerah. Hal ini berdampak pada kurang legitimitnya pemimpin yang terpilih.
Munculnya sikap Golput ini setidaknya disebabkan oleh tiga faktor: Pertama, di dalam undang-undang negara kita ditegaskan bahwa keikutsertaan untuk ikut memilih hanyalah hak bagi warga negara, bukan sebagai kewajiban (Undang-Undang No.10/2008, pasal 19 ayat 1).
Jika memilih pemimpin dianggap hanya sebagai hak, bukan sebagai kewajiban, berarti sah-sah saja hak tersebut tidak digunakan. Kedua, karena sosok yang terpilih tidak pernah membawa perubahan yang signifikan, bahkan terkesan memperkaya diri sendiri, sehingga memunculkan sifat apatis pada sebagian masyarakat.
Dalam hal ini Nabi juga bersabda: “Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara kalian menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Daud). Kalimat “bepergian” menunjukkan bahwa ketiga orang tersebut mempunyai urusan yang sama (umur musytarakah), yaitu sama-sama hendak bepergian, dan bepergian itu sendiri hukum asalnya adalah mubah (boleh-boleh saja). Dari kalimat tersebut bisa ditarik kesimpulan, jika dalam urusan yang mubah saja mengangkat pemimpin hukumnya wajib, tentu dalam perkara yang wajib lebih wajib lagi. Tiga orang saja sudah wajib untuk memilih pemimpin, apalagi dalam konteks negara besar yang berpenduduk jutaan jiwa seperti Indonesia ini.
Berdasarkan ayat dan hadis Nabi di atas dapat dipahami bahwa memilih pemimpin hukumnya adalah kewajiban, bukan sekadar hak, karena Allah menyuruh orang-orang mukmin untuk melakukannya. Kewajiban ini ditambah lagi dengan memilih pemimpin yang berlaku amanah. Sekiranya nilai amanah di antara calon pemimpin tidak ada yang sempurna, maka yang wajib dipilih adalah calon yang paling mendekati kesempurnaan. Prosedur mendapatkan otoritas kekuasaan eksekutif dalam negara penganut sistem demokrasi adalah sah dan konstitusional, legitimit, dan kompetitif. Tidak ada jalan lain kecuali pemilu. Pemilu, bagian dari sarana menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan standar tertentu.
Kita tidak boleh alergi dengan politik, karena politik hakikatnya adalah mulia. Hanya oknum tertentulah yang mengotori kemuliaan politik. Sesungguhnya Rasulullah berhasil membangun Kota Madinah dengan peradaban yang tinggi berkat kepiawaian beliau dalam memainkan politik lobi dan berdiplomasi dengan Yahudi yang berkuasa di Madinah ketika itu. Walaupun rakyatnya heterogen dan plural, baik suku, status sosial, maupun agama, beliau berhasil menjadi pemimpin tertinggi di Madinah ketika itu.
Terkait Pemilu, kita bisa mengingat nasehat dari sejumlah tokoh dunia berikut ini:
- Ali bin Abi Thalib ra
“Kezhaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karena diamnya orang-orang baik.”
- Syaikh Yusuf Qardhawi (Ketua Asosiasi Internasional Cendekiawan Muslim)
Setidaknya ada 3 (tiga) cara dalam mempertimbangkan pilihan:
- Jika semuanya baik, pilihlah yang paling banyak kebaikannya.
- Jika ada yang baik dan ada yang buruk, pilihlah yang baik.
- Jika semuanya buruk, pilihlah yang paling sedikit keburukannya.
- Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, MA. M. Phil. (Ketua MIUMI Pusat, putra Pendiri Pesantren Gontor)
“Jika anda tidak mau ikut pemilu karena kecewa dengan pemerintah & anggota DPR, atau parpol Islam. Itu hak anda. Tapi ingat jika anda & jutaan yang lain tidak ikut pemilu maka jutaan orang fasik, sekuler, liberal, atheis akan ikut pemilu untuk berkuasa dan menguasai kita. Niatlah berbuat baik meskipun hasilnya belum tentu sebaik yang engkau inginkan.”
- Recep Toyyib Erdogan
Jika orang Baik tidak ikut terjun ke politik, maka para penjahatlah yang akan mengisinya.
- Necmetti Erbakan
Muslim yang tidak peduli Politik akan di pimpin oleh Politikus yang tidak peduli kepada islam.
*6.Dr.H.Jufliwan, SH., MM Kepala Dinas Pendidikan Dayah Bireuen;
Memberi suara dalam pemilihan adalah mata rantai kebaikan dan amalan yg perlu dilestarikan.
Jangan tidak ikut Pemilu, Kejahatan akan timbul tatkala orang baik semua pada DIAM.
(Dr.H.Jufliwan, SH., MM)