Oleh: Prof. Drs. Hamdan Juhannis, MA, PhD *)
Para pembaca, saya disarankan oleh beberapa teman melanjutkan pembahasan tentang kasus Paman yang meninggalkan rumah kontrakannya karena pemiliknya tidak menjalankan shalat lima waktu.
Saran untuk melanjutkan pembahasan juga terlihat dari banyaknya respon dari coretan tersingkat saya selama Ramadan ini. Bahkan seorang kawan Professor mencandai bahwa coretan kemarin itu unik dengan pendeknya atau sedikitnya kata yang keluar. Teman yang lain mencurgai bahwa itu masih terkait dengan krisis ide. Yang sedikit menghibur adalah respon dari anggota Montrealers (anggota group yang pernah tinggal di kota Montreal), yang sangat menikmati tulisan saya kali itu, tidak banyak kritisisme.
Kembali ke isunya. Banyak pro dan kontra dari sikap Paman itu meninggalkan rumah kontrakan. Itulah, seorang tokoh ternama merespon dengan sangat bijak, “Ada sebagian kita yg dalam menyikapi masalah yg dihadapinya adalah dengan meninggalkannya.” Artinya meninggalkan adalah sebuah sikap yang dianggapnya sebagai jalan terbaik. Ada yang meyakini bahwa keputusan itu jalan terbaik, di saat tidak kondusifnya situasi untuk bertahan. Mungkin paman itu sudah menghitung seproduktif apa keberagamaannya bila memilih bertahan.
Namun, yang lebih banyak adalah yang melihat bahwa jalan tengah bagi paman itu bukan pergi tetapi tetap berada di sana. Seorang kawan berprofesi dokter justru melihat bahwa dengan perginya paman itu, dia meninggalkan arena dakwah yang sangat strategis. Dakwah itu menjadi produktif ketika ada tantangan. Teman lain menyebutnya, hakikat dakwah itu bilhal dan bilhikmah.
Teman kuliah saya yang sering saya gelari sebagai filosof jalanan, bahkan berkomentar lebih panjang lagi. Dia menyebut bahwa sikap paman itu umum terjadi dalam profil psikologi keagamaan khususnya kaum Muslim. Biasanya masalah tersebut hasil dari relasi timpang antara status spiritual yg superior berhadapan dengan status spiritual yg inferior.
Padahal menurut kawan ini, situasi ini membutuhkan komunikasi sosial yg tidak kering dan kualitas pergaulan hidup yang dirawat dengan nilai empati. Dalam situasi seperti inilah perlu memperlihatkan sikap yang tidak hitam putih, tidak gampang sensitif, dan kaya dengan perspektif pergaulan dan budaya. Termasuk perlunya mengasah kepandaian mengambil hati orang di sekitar.
“Banyak dari kita yang sering menghadapi muslim yang malas sholat bahkan rajin maksiat. Tapi dengan situasi intimacy dan proximity yg bisa didesain dan direkayasa dengan tulus sehingga sisi kemanusiaannya bisa dikunyah sebagai seni bertetangga dan membersamai pada momentum keseharian.” Begitu persis kalimatnya.
Masih menurut Filosof ini, sebaiknya beliau merebut berbagai momentum keseharian untuk merajut kesatuan hati dan ketersambungan cerita yang membuat seorang muslim lain menjadi mudah dan ringan bersahabat dengan ahli sholat dan sosok religius seperti dirinya. Misalnya dengan mengantarkan makanan pada waktu tertentu, ngopi bareng sambil makan pisang goreng, memberikan hadiah kecil di ulang tahunnya, memberi hadiah saat kenaikan kelas anaknya dan jutaan momentum emas utk menikmati indahnya hubungan bermanusia dan bertetangga.
Dari saya, mungkin sebaiknya memang beliau tidak pergi. Teringat nilai kearifan lokal dari orangtua. “Berjalanlah, sebagai cara merasakan warna-warni hidup dan supaya bijak memaknai perbedaan.” Paman itu sudah puluhan tahun merasakan hidup dengan orang yang sering shalat. Akan menjadi sebuah pengalaman keberagamaan yang menarik, jika sekiranya menjalani kehidupan dengan mereka yang malas atau tidak shalat. Tapi ini sekadar ide, lagian, tidak mungkin juga diminta untuk kembali ke rumah kontrakan itu. Bukan hanya itu, mungkin sudah dikontrak oleh orang lain.
*) Rektor UIN ALAUDDIN Makassar