Oleh : D. Zawawi Imron *)
Jalan Tengah itu tidak bisa ditutup. Ia menyediakan sepuluh gerbang baru sesuai penjuru angin. Ia siap dilewati para pencari. Bukan oleh para penunggu. Di antara para pencari yg hilir mudik bagai jutaan semut itu terdapat diriku yang merangkak kehausan. Haus itu yg membuat bayangn Jalan Tengah seakan menggelpar dan menghindar dari rempuhan.
Jalan Tengah itu kadang berubah menjelma Kiblat, tapi bukan kiblat yg sebenarnya. Ia bagai keindahan pelangi yang lenyap oleh raibnya gerimis yg gagal menjadi hujan. Bukankah semua ini adalah tamsil, metafora yg bermain antara ada dengan tiada?
Itulah yang membuat aku makin penasaran dalam penyesalan. Kehausan memuncak berubah menjadi semangat yg tak terbendung. Sedangkan aku baru sadar sebagai seekor semut yang berlagak seperti gajah. Hal yang membuat aku makin malu kepada Yang Maha Tahu.
Untunglah, di masjid kampung sebelah anak-anak kecil menirukan lirih suara angin. Ada sebutir debu diterbangkan keramahan angin. Saya yakin sebutir debu itu berangkat dari bekas “telapak kaki ibu” yang menyimpan aroma tak bernama. Wangi yang membuat mata saya lama terpejam.
Lama terpejam.
Ada lagu mendesir tanpa akhir, bagai derai daunan dan selintas seperti ricik air di sungai tua yang mengalir. Setelah pelupuk mata aku buka, terbentang Jalan lempang menuju entah yg menyembunyikan denyut keharuan yg Indah itu.
Inikah Jalan Tengah itu?
Nanti dulu. Aku memerlukan sekian keraguan untuk meyakininya.
Allahu Akbar walillahilhamd.
*) D. Zawawi Imran, kolumnis, sastrawan