Tahun Politik dan Narasi Hoaks

foto ilustrasi

Oleh: D. Supriyanto Jagad N *)

Jelang tahun politk, kita sering dihadapkan pada satu persoalan pokok yang bisa memporak porandakan tatanan kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yakni berderanya berita hoax (berita bohong) serta narasi-narasi ujaran kebencian.

Menurut hemat saya, hoax muncul karena makin menguatnya kecenderungan elitis dengan sindrom pencitraan yang berlebihan dalam konteks persaingan memperebutkan posisi kekuasaan dalam demokrasi yang makin dibuat rumit untuk kepentingan-kepentingan eksklusif.

Hoax ini bagaikan petir yang siap menyambar siapa saja, hingga akhirnya larut dalam pusaran konflik, mudah termakan, mudah terhasut karena ketidak cerdasan dalam menerima dan mengelola suatu informasi. Jika sudah demikian, celah munculnya gesekan yang menyebabkan runtuhnya persatuan dan kesatuan bisa saja terjadi. Politik dan hoax, bagai mata uang yang tak terpisahkan.

Sejarah akan mencatat betapa carut marutnya kehidupan demokrasi kita saat ini. Kita, anak-anak bangsa ini, terjebak pada sesuatu yang buram, akibat kelalaian para elit politik yang sekedar memperhitungkan kepentingan sesaat dan mengabaikan aspek filosofi, termasuk dan terutama ditanggalkannya etika serta filosofi kebenaran dalam pengambilan keputusan dan tindakan, telah mendegradasi bahkan sempat meruntuhkan sejumlah peradaban manusia.

Kita dipertontonkan untuk menyaksikan kemunduran demokrasi, kehidupan demokrasi berjalan tanpa etika jauh dari nilai-nilai budaya dan kepatutan dalam berpolitik. Pendek kata, kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat ini tengah diuji.

Apakah langkah kita dalam hidup ber-Indonesia masih dalam orbit menuju cita-cita yang ada dalam Preambule UUD 1945?  Akan dibawa kemana bangsa Indonesia yang besar ini? Apakah kita berada di jalan yang benar? Atau kita tersesat? Dimana Pancasila kita? Apakah negeri ini masih seperti apa yang dikatakan Bung Karno dalam pidato lahirnya Pancasil? “ Kita mendirikan negara semua untuk semua?”

Pertanyaan itu terus menggemuruh, berkecamuk dalam dada saya, sebagai bagian dari anak-anak bangsa ini. Sejak UUD 1945 diamandemen, kita seperti kehilangan kompas untuk menentukan arah perjuangan bangsa ini.

Amandemen UUD 1945 bukan bukan sekedar menambahi dan mengurangi pasal-pasal dalam UUD 1945, tetapi lebih jauh telah merubah tatanan bernegara, menghilangkan budaya gotong royong,  menghilangkan budaya musyawarah dan mufakat,  memaksa dan mencangkokkan liberal kapitalis pada Pancasila, menghilangkan Budaya Bhineka Tunggal Ika, menghilangkan rasa senasib dan sepenanggungan, dihilangkannya budaya ‘ono rembuk yo ditembuk’ dihilangkannya kompas penunjuk arah GBHN yang membuat bangsa ini semakin tersesat.

Amandemen merubah sistem kolektivisme menjadi individualisme, mengganti system MPR menjadi sistem presidensial, padahal Pancasila adalah ‘Philosofische-groundslag’ daripada Indonesia merdeka.

Philosofische-groundslag’ itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan rumah besar bernama Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi (pidato Soekarno 1 Juni 1945 – lahirnya Pancasila)

Para pengamandemen UUD 1945 telah lupa dan sengaja melupakan jati diri bangsanya. Menenggelamkan sistem berbangsa dan bernegara, dengan mengganti dengan demokrasi liberal, demokrasi yang tidak berdasar pada Preambule UUD 1945, demokrasi yang menjadikan rakyatkuda tunggangan, rakyat hanya sebagai tambal butuh, akibatnya amanat penderitaan rakyat terus akan berlanjut tanpa cita-cita.

Sejak Amandemen UUD 1945, dan sejak itu pulalah genderang demokrasi liberal telah didorong untuk memporak porandakan kehidupan berbangsa dan bernegara, dasar Negara telah dipaksa untuk menyingkir dari pergulatan politik di negeri ini. Lupa falsafah, lupa sejarah, lupa Preambule UUD 1945,  bahkan lupa pada segala hal-hal yang telah menjadi komitmen berbangsa dan bernegara.

Kita lupa Pancasila  sebagai Philosofische-groundslag’ dan lupa pula pada Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.

 

*) Penggiat budaya, Sekretaris Jenderal DPP Persatuan Wartawan Republik Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *