Prof. Dr. Muhammad Azhar, MA.
Dosen FAI-Pascasarjana UMY & LARI (Lingkar Akademisi Reformis Indonesia)
Ketika bom tentara Sekutu dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, ratusan ribu warga Jepang mati terbunuh. Saat perang usai, Kaisar Jepang waktu itu bertanya pada stafnya; “Berapa guru yang masih hidup”?. Kaisar tidak bertanya, berapa tentara yang tersisa, justeru keberadaan guru yang ia pertanyakan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran seorang guru dalam memajukan suatu bangsa.
Dalam konteks yang lain, seorang Profesor di Jepang pernah mengutus beberapa mahasiswanya ke salah satu pabrik di Amerika, agar mereka mempelajari seluk beluk industri yang ada secara detail. Kembali dari Amerika, para mahasiswa tersebut diminta oleh sang Profesor untuk menerapkan ilmu yang telah mereka peroleh dari Amerika, sekaligus mendorong mahasiswanya untuk menambahkan inovasi baru dari yang sudah diperoleh dari industri di Amerika tersebut. Sejarah mencatat, di kemudian hari, Jepang dikenal sebagai negara yang tidak hanya memiliki kemampuan menyerap keunggulan di bidang iptek, tetapi sekaligus mengembangkan gagasan baru yang inovatif dari perkembangan iptek yang sudah ada. Inovasi iptek ala Jepang ini juga dikembangkan oleh Korea Selatan, China, Taiwan, dan lain-lain.
Lalu, bagaimana kondisi inovasi iptek di Indonesia yang memiliki SDM terbesar keempat di dunia, sekaligus memiliki potensi kekayaan alam yang melimpah?. Berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), pada tahun 2019, Indonesia berada pada posisi 62 dari 70 negara yang memiliki tingkat literasi rendah. Finlandia, Belanda, Swedia, Australia dan Jepang termasuk lima negara yang memiliki literasi tinggi.
Indeks Pembangunan Indonesia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Indonesia memang mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Skor IPM itu menempatkan Indonesia pada kategori pembangunan manusia tinggi. Namun, kategori tersebut, Indonesia masih berada di urutan 107 dari 189 negara dan wilayah. Adapun soal stunting, berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting saat ini masih tinggi yakni berada pada angka 24,4 persen atau 5,33 juta balita.
Berdasarkan tiga realitas di atas, Indonesia masih harus bekerja keras untuk tampil sebagai negara maju. Untuk itu, peran berbagai ilmuan sangat dinantikan, terutama peran para guru, dosen dan para peneliti lainnya.
Dengan demikian, eksistensi guru dan dosen yang berkualitas selaku SDM terdepan pembawa obor ilmu dan inovasi di berbagai bidang disiplin ilmu dan sains sangat dinantikan. Kebutuhan SDM guru, dosen dan peneliti unggul semakin mendesak, terutama dalam menyongsong Indonesia Emas di tahun 2045.
Bukan zamannya lagi kemajuan inovasi iptek Indonesia hanya ditopang oleh SDM, khususnya para sarjana yang biasa-biasa saja. Indonesia sangat membutuhkan hadirnya para sarjana unggulan di berbagai bidang. Untuk pekerjaan yang sifatnya tehnis, bisa saja alumni perguruan tinggi yang kurang unggul, walaupun SDM unggul akan jauh lebih baik. Namun kebutuhan utama untuk pengembangan dan kemajuan dunia pendidikan sebagai pusat pengembangan ilmu dan sains, kebutuhan sarjana unggul akan lebih diutamakan, karena mereka kelak diharapkan melahirkan anak didik atau mahasiswa calon sarjana unggul Indonesia di masa depan.
Para guru dan dosen, selain sebagai pendidik, juga sekaligus sebagai peneliti keilmuan di bidangnya masing-masing yang diharapkan kelak mampu melahirkan berbagai inovasi lahirnya ribuan temuan local science yang potensinya melimpah di tanah air. SDM sarjana unggul lulusan perguruan tinggi umumnya sudah terbiasa dilatih berpikir kritis sehingga lebih tepat diberi posisi sebagai pendidik, dibanding hanya sebagai karyawan biasa yang harus duduk manis mengikuti petunjuk atasan di kantor seharian. Karyawan umumnya sudah terbiasa dengan rutinitas pekerjaan, yang tentunya berbeda dengan naluri seorang guru dan dosen yang terus didorong untuk menemukan dan mengembangkan teori-teori yang sudah ada. Guru dan dosen lebih memiliki ruang kebebasan dalam berkreasi dan berinovasi, mengembangkan berbagai ruang imajinasi dalam pengembaraan belantara keilmuan yang masih banyak belum banyak dijamah dan diungkap melalui dunia riset dan inovasi.
Dengan adanya program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka merupakan momentum bagi seluruh sekolah dan perguruan tinggi untuk lebih akseleratif dalam mewujudkan lahirnya jutaan sarjana unggul di berbagai bidang. Program Guru Penggerak maupun 8 bidang program lintas prodi dari Kampus Merdeka merupakan peluang emas yang wajib dimanfaatakan para calon sarjana unggul, yang tidak hanya menguasai secara mendalam bidang keilmuan yang telah dipilih sejak semester awal, namun dapat memperkaya pengalaman dan khazanah keilmuan mereka di luar prodi yang sudah ditekuni.
Pengayaan ilmu dan pengalaman di luar prodi yang dipilih tentu semakin menambah daya inovasi dan kreasi bagi segenap calon sarjana unggul Indonesia di masa depan. Akan lebih bagus lagi para calon sarjana unggul dapat menambah pengayaan ilmu mereka di luar negeri – satu atau dua semester – sesuai dengan skema program dan pendanaan yang tersedia.
Sudah saatnya pula para guru dan dosen tidak lagi terlalu banyak dibebani dengan kerja-kerja administratif yang kini sudah banyak bisa digantikan lewat kecanggihan IT. Dengan demikian, guru dan dosen dapat lebih fokus memaksimalkan waktu luang mereka untuk mengembangkan inovasi pendidikan, riset, penulisan karya ilmiah berupa artikel jurnal, buku teks, buku referensi maupun monograf, yang akan berimplikasi pada semakin melimpahnya hak paten bagi karya para guru dan dosen.
Para guru, dosen juga dapat semakin lebih intens untuk mengikuti berbagai forum ilmiah, seperti: FGD (Focus Group Discussion), konperensi, international conference, baik yang bersifat offline maupun webinar, pengabdian untuk masyarakat, riset serta publikasi karya ilmiah lainnya. Selama musim Covid dua tahun lalu, membawa hikmah tersendiri bagi seluruh pelajar, mahasiswa, guru dan dosen di seluruh dunia, dimana akses untuk saling tukar-menukar inovasi keilmuan dari berbagai bidang semakin cepat dan mudah, sekaligus berbiaya murah.
Inovasi keilmuan juga semakin intens di berbagai negara terutama yang telah memiliki fondasi dan akses IT yang canggih dan futuristik. Program student and lecturer exchange, international networking and collaboration juga semakin mudah dan mampu menekan biaya pendidikan serta inovasi keilmuan secara lebih efektif dan efisien. Sekolah dan kampus serta pusat-pusat riset keilmuan tinggal memenej program yang ada secara lebih efisien dan efektif. Dengan demikian, para calon sarjana unggul dapat memanfaatkan semua keterbukaan sarana keilmuan tersebut secara lebih baik dan akseleratif di masa depan.
Bangsa yang besar dan berperadaban adalah bangsa yang maju dalam iptek dan dimulai dari tradisi membaca dan melek literasi, baik secara tekstual maupun kontekstual yakni membaca dinamika sosial (social sciences and humanities), dan fenomena alam (natural sciences), sesuai dengan kondisi masing-masing negara dan daerah.
Bangsa yang kurang terpelajar akan menjadi bangsa yang uncivilized, diselimuti kebodohan, yang sudah pasti berimplikasi pada hidup kurang gizi, penyakitan, cenderung emosional atau kurang rasional dalam berpikir dan pengambilan keputusan, mudah terprovokasi oleh informasi hoaks dan akhirnya menjadi bangsa yang tertindas, hanya menjadi bangsa konsumen dari limpahan pengetahuan dan sains global.
Untuk kasus Indonesia, selain program Merdeka Belajar, Kampus Merdeka, proyek PKH (Program Keluarga Harapan) maupun dana desa dapat dimaksimalkan di seluruh tanah air. Berbagai daerah dapat memanfaatkan dana tersebut untuk penggalian potensi local science, memproduksi berbagai start up serta aplikasi IT lainnya, untuk akselerasi inovasi potensi desa yang kelak berdampak pada kesejahteraan warga desa, terutama kaum milenial sebagai calon sarjana unggul. Pemanfaatan dana desa ini juga sekaligus diarahkan untuk mereduksi fenomena stunting itu sendiri.
Saat ini, secara pelan namun pasti, ranking sekolah, terutama universitas Indonesia negeri maupun swasta, mulai merangkak naik menuju world class university. Berbagai inovasi kebijakan pendidikan dan riset inovasi kurikulum, kontinuitas peningkatan kualitas guru dan dosen, baik dalam pengayaan materi ajar maupun metode dan inovasi kurikulum pengajaran, semakin intensif dilakukan, baik oleh pemerintah maupun swasta.
Berbagai penyempurnaan regulasi pendidikan dan penelitian – BRIN – juga terus dilakukan. Ke depan, peran pemerintah dan swasta sudah waktunya untuk lebih disinergikan lagi, demi meraih cita-cita Indonesia Emas 2045. Para calon sarjana unggul, bercita-citalah menjadi guru, dosen dan ilmuan yang handal di masa depan. Sebab, di tangan andalah kemajuan peradaban Indonesia dipertaruhkan. Semoga.
Wallahu a’lam bisshawab.-