Catatan D. Supriyanto Jagad N *)
Jelang pemilu 2024, suhu politik Indonesia semakin memanas. Terbaru, bebasnya mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, setelah sekian lama ‘sekolah’ di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung.
Sejumlah pihak mengatakan, bebasnya Anas dari LP Sukamiskin, menjadi ancaman karir politik AHY, yang saat ini memegang kemudi Partai Demokrat, besutan Presiden ke enam Susilo Bambang Yudhoyono
Terlalu dini, jika bebasnya Anas kemudian diasumsikan sebagai bentuk perlawanan, yang kemudian dikhawatirkan akan balas dendam yang bisa mengancam eksistensi Demokrat di bawah kepemimpinan AHY.
Para elit politik terlalu lebay jika Anas akan menjadi momok di kemudian hari.
Pesona dan pengaruh Anas Urbaningrum menurut saya, saat ini telah berkurang cukup banyak. Jika Anas kembali bersuara terkait kasusnya dan menyerang Partai Demokrat tidak akan memiliki banyak pengaruh. Apalagi, saat ini Demokrat sudah dilekatkan dengan kepemimpinan yang baru yakni Agus Harimurti Yudhoyono.
Sambil ngopi, saya teringat saat diundang menjadi salah satu nara sumber dalam dialog publik beberapa waktu lalu yang disiarkan secara live di sebuah radio swasta di Jakarta.
Dalam dialog interaktif tersebut, ada pertanyaan yang disampaikan kepada saya. Mungkinkah politik berbudaya bisa ditegakkan di negeri ini?
Ini bukan pertanyaan sederhana, namun ada muatan kegelisahan, atas carut marutnya wajah politik kita saat ini. Harus diakui, cara berdemokrasi kita, masih jauh dari apa yang kita harapkan. Saling serang, saling menjatuhkan, mengungkit-ungkit perjalanan pribadi di masa lalu dengan tujuan untuk membunuh karakter, masih kita jumpai dan terpampang di media sosial.
Kemerdekaan bangsa yang disertai dengan kebebasan dan demokrasi yang terus berkembang di negeri ini, ternyata memiliki sisi negative yang akan semakin menjadi persoalan, bila tidak segera disadari oleh semua komponen bangsa ini. Ekses yang paling terasa adalah dalam kehidupan berpolitik bangsa ini.
Dalam pencarian bentuknya, politik di negeri ini dipenuhi dengan bahaya yang bisa dan kadang di setiap saat. Bahaya terbesar akibat proses dalam pencarian bentuk dalam politik itu adalah perpecahan di masyarakat. Kita bisa melihat wajah media sosial kita, dihiasi dengan berbagai hujatan atas ketidak sepahaman cara pandang dalam melihat sesuatu, karena perbedaan pilihan politik.
Pelaku politik sering menggunakan kondisi masyarakat yang rapuh dan rawan pengaruh untuk keuntungan dan kepentingan politiknya. Kerapuhan rakyat yang tanpa disadari akan semakin menjadi bencana saat pengaruh para petualang politik masuk dalam kehidupan mereka.
Sejarah mencatat banyak terjadi pengkhianatan saat bangsa ini memperjuangkan kemerdekaannya. Pengkhianat yang dengan bangganya diperbudak penjajah untuk melawan negerinya sendiri, sekedar demi lembaran uang dan mimpi jabatan.
Saya teringat apa yang pernah dikatakan Bung Karno di masa lalu,” Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri,”
Melawan bangsa sendiri, bukanlah memusuhi bangsa sendiri dalam arti sebenarnya. Tantangan melawan bangsa sendiri adalah bagaimana negara dan para pemimpin harus memenuhi aspirasi rakyat dan membawa bangsa ini menuju masa depan yang lebih baik. Tantangan itu semakin berat di tengah bangsa ini sedang mencari bentuknya dalam berkehidupan politik.
Politik berbudaya apakah mungkin bisa ditegakkan di negeri ini? Menurut saya, sangat mungkin. Namun, kita harus mampu merekonstruksi pemikiran dan komitmen kita atas keberlangsungan bangsa ini. Diperlukan kesadaran bersama, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang bermartabat. Politik yang sebaik-baiknya adalah politik yang berbudaya, budhi daya dan bermartabat, dimana kekuasaan dan tahta yang dibawa membawa kemuliaan manusia dan Sang Pencipta.
Bila bangsa ini tidak ingin carut marut, sudah saatnya kita kembali kepada politik yang berbudaya, karena politik yang berbudaya, akan sanggup menggeser dominasi politik identitas yang saat ini marak di tanah air. Politik identitas selalu dikaitkan dengan etnisitas, agama, idiologi, dan kepentingan-kepentingan lokal yang umumnya diwakili para elit politik dengan artikulasinya masing-masing.
Sudah saatnya kita kembali kepada jati diri kita sebagai bangsa yang berbudaya. Dan, yang bisa kita lakukan adalah membangun budaya politik yang sesuai dengan peradaban kita sebagai bangsa Indonesia yang berkarakter.
Ukuran baik buruk, benar salah, pantas tidak pantas dalam budaya demokrasi kita, tentu berbeda dengan negara lain, atau bangsa-bangsa lain.
Mari berbenah, ruang itu masih ada
*) D. Supriyanto Jagad N, pemerhati sosial politik, Sekretaris Jenderal DPP Persatuan Wartawan Republik Indonesia