Psikologi Positif Gelombang Kedua

Syahril Syam, ST., C.Ht., L.NLP

Oleh: Syahril Syam *)

Martin Seligman, yang dikenal luas sebagai “Bapak Psikologi Positif”, bersama Mihaly Csikszentmihalyi, memelopori lahirnya gerakan psikologi positif pada akhir tahun 1990-an. Arah utama pendekatan ini adalah menggeser fokus psikologi dari sekadar memperbaiki gangguan dan kelemahan menuju pengembangan potensi, kekuatan, dan hal-hal yang membuat hidup manusia lebih bermakna.

Psikologi positif menyoroti hal-hal seperti kebahagiaan subjektif, perasaan “mengalir” saat seseorang tenggelam dalam aktivitas yang disukai (flow), serta penguatan karakter dan sikap positif dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Inti pendekatannya adalah bahwa dengan menambah lebih banyak aspek positif – seperti rasa syukur, optimisme, dan hubungan sosial yang sehat – maka kesejahteraan seseorang akan meningkat, dan aspek negatif seperti stres atau kesedihan akan berkurang dengan sendirinya.

Namun, seiring berjalannya waktu, para peneliti mulai melihat bahwa pendekatan ini belum sepenuhnya cukup untuk memahami kompleksitas pengalaman manusia. Kritik pun muncul karena psikologi positif dianggap terlalu menekankan “keceriaan” dan kurang memberi ruang pada realitas penderitaan, kesedihan, atau sisi gelap kehidupan yang juga merupakan bagian penting dari pengalaman manusia.

Selain itu, beberapa ahli menilai bahwa pandangan ini seringkali tidak mempertimbangkan perbedaan budaya dan konteks sosial yang memengaruhi cara seseorang memahami kebahagiaan dan kesejahteraan. Dengan kata lain, meskipun psikologi positif membawa perubahan besar dalam dunia psikologi modern, pendekatan ini kemudian perlu dikembangkan agar lebih seimbang dan realistis terhadap kenyataan hidup manusia yang penuh warna.

Sebagai tanggapan terhadap keterbatasan pendekatan psikologi positif gelombang pertama, muncul gagasan baru yang disebut Psikologi Positif Gelombang Kedua atau PP 2.0. Konsep ini pertama kali dikembangkan oleh Paul T. P. Wong, seorang psikolog klinis dan eksistensialis asal Kanada, yang juga profesor emeritus di Trent University. Dalam tulisannya yang berjudul “Positive Psychology 2.0: Towards a Balanced Interactive Model of the Good Life” (2011), Wong menilai bahwa psikologi positif sebelumnya (PP 1.0) terlalu menonjolkan emosi dan pengalaman positif seperti kebahagiaan, rasa syukur, dan kepuasan, tetapi kurang memberi ruang bagi realitas penderitaan manusia.

Menurut Wong, hidup manusia tidak hanya berisi kebahagiaan, tetapi juga kesedihan, kehilangan, ketakutan, dan kematian – hal-hal yang tidak dapat dihapus begitu saja dari pengalaman hidup. Karena itu, ia mengusulkan agar psikologi positif dikembangkan menjadi lebih seimbang dan realistis. Ia memperkenalkan PP 2.0 sebagai perpaduan antara Psikologi Positif dan Psikologi Eksistensial, yang disebut juga Existential Positive Psychology (EPP). Pendekatan ini menekankan pentingnya keseimbangan antara sisi positif dan negatif, penderitaan dan makna, serta tragedi dan transformasi.

Wong berpendapat bahwa kesejahteraan sejati tidak akan tercapai hanya dengan menambah hal-hal positif, tetapi juga dengan belajar menerima, memahami, dan mentransformasikan penderitaan menjadi sumber makna dan pertumbuhan pribadi. Dalam pandangan ini, rasa sakit, kehilangan, dan tantangan hidup bukan sekadar hambatan, melainkan peluang untuk memperdalam kesadaran diri, memperkuat karakter, dan menumbuhkan rasa syukur yang lebih otentik. Dengan kata lain, PP 2.0 mengajarkan bahwa kebahagiaan yang sejati lahir bukan dari menghindari penderitaan, tetapi dari kemampuan untuk menemukan makna di dalamnya.

Psikologi Positif Gelombang Kedua (PP 2.0) memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari pendekatan sebelumnya. Pertama, PP 2.0 mengakui bahwa manusia memiliki dua sisi dalam dirinya – potensi untuk berbuat baik sekaligus kemungkinan untuk bersikap negatif atau bahkan destruktif.

Oleh karena itu, kesejahteraan psikologis tidak lagi dipahami sekadar sebagai upaya memperkuat hal-hal positif, melainkan juga kemampuan untuk mengenali, menerima, dan mengelola sisi gelap diri seperti kemarahan, ketakutan, atau rasa bersalah. Dengan cara ini, kita tidak hanya “menjadi baik” secara dangkal, tetapi tumbuh menjadi pribadi yang lebih utuh dan seimbang.

Kedua, pendekatan ini menggunakan cara berpikir dialektis, yaitu melihat bahwa hal positif dan negatif tidak selalu saling bertentangan, tetapi justru saling melengkapi dan berinteraksi. Seperti konsep yin dan yang dalam filsafat Tionghoa, kegelapan dan terang, suka dan duka, merupakan dua sisi dari satu kesatuan pengalaman hidup. Melalui pandangan ini, penderitaan tidak lagi dianggap sebagai hal yang harus dihindari, tetapi sebagai bagian alami dari perjalanan manusia menuju kedewasaan batin.

Ketiga, PP 2.0 menempatkan pencarian makna hidup (meaning) sebagai inti dari kesejahteraan sejati. Kebahagiaan bukan lagi diukur dari seberapa sering seseorang merasa senang atau puas, tetapi dari bagaimana ia menemukan makna dan tujuan di balik setiap pengalaman, termasuk saat menghadapi kesulitan. Rasa makna inilah yang memberi kedalaman dan daya tahan emosional, membuat seseorang mampu bertumbuh dari penderitaan.

Terakhir, PP 2.0 juga menegaskan bahwa kesejahteraan tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan budaya. Manusia hidup dalam jaringan hubungan yang saling memengaruhi – keluarga, masyarakat, dan nilai-nilai budaya – yang semuanya turut membentuk cara kita memahami dan mengejar kebahagiaan. Karena itu, kesejahteraan yang sejati tidak hanya tentang individu yang merasa baik, tetapi juga tentang kemanusiaan kolektif yang saling peduli dan memberi makna satu sama lain.

Dalam praktiknya, Psikologi Positif Gelombang Kedua (PP 2.0) menawarkan pendekatan yang lebih mendalam dan manusiawi dalam menghadapi kesulitan hidup. Misalnya, ketika seseorang mengalami kehilangan besar – seperti kematian orang terdekat, kegagalan karier, atau perpisahan – pendekatan psikologi positif tradisional biasanya menekankan untuk tetap berpikir positif, bersyukur, dan segera “move on”. Meskipun niatnya baik, pendekatan seperti itu seringkali membuat seseorang menekan atau mengabaikan rasa sakit yang sebenarnya ia rasakan.

Sebaliknya, PP 2.0 mengajak individu untuk mengakui dan menghadapi penderitaan itu secara sadar, bukan menolaknya. Rasa sedih, marah, kecewa, atau hampa dilihat sebagai reaksi yang alami dan bahkan penting untuk dipahami. Dari proses itulah kita mulai menemukan makna baru: apa yang bisa dipelajari dari kehilangan ini, bagaimana pengalaman tersebut bisa memperluas empati terhadap orang lain, atau bagaimana penderitaan itu dapat membuka potensi dan kekuatan batin yang sebelumnya tersembunyi.

Pendekatan ini menekankan bahwa pertumbuhan sejati lahir bukan dari menghindari kesulitan, tetapi dari kemampuan untuk berjalan melewati dan mengintegrasikannya. Dalam perjalanan itu, rasa sakit berubah menjadi sumber kebijaksanaan, dan luka batin bisa menjadi ruang bagi kelahiran makna dan kedewasaan emosional yang lebih dalam. Dengan kata lain, PP 2.0 membantu manusia melihat bahwa di balik setiap penderitaan, selalu ada peluang untuk transformasi – bukan sekadar bertahan, tetapi benar-benar bertumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan penuh makna.

 

@pakarpemberdayaandiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *