Daerah  

Ketika Bappeda terlemahkan : Siapa Sebenarnya Otak Pembangunan Subulussalam di Tengah Defisit Ratusan Miliar?

STRATEGINEWS.id, Subulussalam — Pemerintah Kota Subulussalam kini tengah menghadapi ujian besar.
Selain menanggung defisit anggaran ratusan miliar rupiah, kota ini juga dihadapkan pada krisis arah pembangunan akibat belum adanya Kepala Bappeda definitif.

Jabatan strategis tersebut hingga kini masih dijabat oleh Pelaksana Tugas (PLT), yang secara hukum sah, namun terbatas kewenangannya.

Di permukaan, kondisi ini terlihat sebagai persoalan administrasi biasa. Namun di balik itu, terdapat persoalan yang lebih serius: apakah Bappeda kondisi terlemahkan atau sengaja dilemahkan agar fungsi perencanaan dan kendali pembangunan berpindah ke tangan tertentu di luar mekanisme formal pemerintahan?

Dalam struktur pemerintahan, Bappeda adalah otak dan navigator pembangunan.
Lembaga ini bertanggung jawab merancang visi jangka panjang daerah, menyusun RPJMD, RKPD, serta memastikan setiap rupiah yang dibelanjakan daerah sejalan dengan prioritas pembangunan.

Tanpa kendali Bappeda, pembangunan ibarat kapal tanpa kompas.
OPD-OPD bisa saja bekerja keras, tetapi arah dan sinkronisasinya kabur.
Akibatnya, anggaran bisa boros, proyek tumpang tindih, dan hasil pembangunan tidak terasa bagi masyarakat.

Status Pelaksana Tugas (PLT) membuat kepala Bappeda tidak memiliki kewenangan penuh dalam pengambilan keputusan strategis.
Ia hanya menjalankan tugas rutin tanpa dapat:

Menetapkan prioritas pembangunan lintas sektor,

Menandatangani dokumen strategis (RKPD, RPJMD) tanpa izin kepala daerah,

atau mengeluarkan rekomendasi perencanaan yang mengikat OPD lain.

Kondisi ini menciptakan ruang kosong kepemimpinan strategis di tubuh pemerintah daerah.
Dan ruang kosong inilah yang sering kali diisi oleh pihak lain yang memiliki pengaruh politik atau administratif kuat.

Bappeda bisa saja melemah bukan karena ketidaksengajaan, tetapi karena dibiarkan dalam posisi lemah.
Tanda-tandanya antara lain:

Jabatan Kepala Bappeda dibiarkan kosong terlalu lama,

Arahan pembangunan lebih sering keluar dari lingkaran politik atau pejabat lain yang bukan perencana teknokratik,

Proyek-proyek muncul tanpa rujukan RPJMD atau hasil Musrenbang,

Keputusan pembangunan diambil lewat jalur cepat tanpa pertimbangan analisis perencanaan.

Jika hal ini terjadi, maka fungsi “otak pembangunan” bergeser dari Bappeda ke aktor lain — seperti:

1. Kepala daerah dan lingkaran politiknya, yang mengambil keputusan berdasarkan kepentingan politik jangka pendek, bukan analisis pembangunan jangka panjang.

2. Sekretaris daerah atau TAPD, yang berfokus pada stabilitas anggaran dan belanja rutin, bukan visi pembangunan.

3. Pihak eksternal tertentu (kontraktor besar, elite ekonomi, atau kelompok keluarga politik) yang memiliki kepentingan langsung terhadap proyek dan distribusi anggaran.

Dengan kata lain, perencanaan menjadi transaksional, bukan lagi teknokratis.

Situasi defisit anggaran Subulussalam yang mencapai ratusan miliar rupiah menjadi bukti nyata bahwa perencanaan dan pengendalian fiskal daerah sedang tidak sinkron.
Ketika Bappeda — yang seharusnya menjaga keseimbangan antara kemampuan keuangan dan prioritas pembangunan — tidak berfungsi optimal, maka kebijakan belanja menjadi liar dan tidak terkendali.

Beberapa kegiatan bisa saja tetap berjalan, tetapi tanpa dasar perencanaan yang kuat, hasilnya minim dampak sosial dan ekonomi.
Akhirnya, rakyat tetap menanggung akibatnya: proyek mangkrak, jalan belum tuntas, dan pelayanan publik berjalan lamban.

Siapa yang Sebenarnya Mengendalikan Arah Pembangunan?

Dalam kondisi ideal, otak pembangunan adalah Bappeda.

Namun ketika lembaga itu terlemahkan bahkan dilemahkan, kendali beralih ke tangan politik, bukan teknokrasi.
Arah pembangunan pun tidak lagi ditentukan oleh data, analisis, dan kebutuhan masyarakat, melainkan oleh pertimbangan kepentingan pribadi, kelompok, atau jangka pendek kekuasaan.

Kondisi ini sangat berbahaya bagi masa depan Subulussalam, karena bisa menciptakan:

Ketergantungan politik dalam pengambilan keputusan,

Pengabaian prinsip good governance,

dan hilangnya keberlanjutan program prioritas antar-periode.

Seruan Moral untuk Pembenahan, Pemerintah Kota Subulussalam perlu segera:

1. Menetapkan Kepala Bappeda definitif dengan kompetensi teknokratik dan integritas kuat;

2. Memulihkan peran Bappeda sebagai pusat perencanaan, bukan sekadar pelaksana administratif;

3. Menjaga agar kebijakan pembangunan tidak dikendalikan oleh kepentingan di luar sistem perencanaan resmi.

Hanya dengan itu, Subulussalam dapat keluar dari krisis fiskal dan arah pembangunan yang tidak pasti.

Bila Bappeda adalah otak pembangunan, maka melemahkannya sama saja dengan mematikan fungsi berpikir daerah.
Saat otak berhenti bekerja, tubuh pemerintahan hanya akan bergerak karena refleks — tanpa arah, tanpa visi.
Dan dalam kondisi defisit ratusan miliar, itu bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan krisis kepemimpinan perencanaan.

[dedi]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *