Dana Pemda Mengendap di Bank Lebih Rp200 Triliun, Ekonom Indef Beberkan Solusinya

Foto ilustrasi ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.

STRATEGINEWS.id, Jakarta – Polemik dana pemerintah mengendak di bank yang mencapai lebih dari Rp200 triliun terus  menjadi sorotan. Polemik ini mengemuka usai Menteri Keuangan RI, Purbaya Yudhi Sadewa, menyoroti tingginya dana milik pemerintah daerah yang masih mengendap di bank dan kas daerah, sementara perekonomian nasional membutuhkan dorongan belanja untuk memperkuat daya beli masyarakat.

Sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) setiap tahun tercatat menumpuk dalam jumlah triliunan rupiah, menunjukkan masih rendahnya efektivitas penyaluran belanja pemerintah daerah ke sektor produktif yang menyentuh masyarakat.

Menanggapi hal ini, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman sebagaimana dikutip dari Media Indonesia menyebut fenomena itu merupakan cerminan lemahnya sinkronisasi antara siklus perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan APBD.

Menurut Rizal, keterlambatan penetapan APBD membuat proses administrasi dan lelang kegiatan bergeser hingga triwulan II dan III. Karenanya, proyek fisik baru berjalan saat tahun anggaran hampir berakhir.

“Pola ini menyebabkan belanja pemerintah daerah tidak berperan optimal sebagai instrumen stabilisasi dan akselerasi ekonomi daerah sepanjang tahun,” kata Rizal Minggu (26/10).

Rizal mengatakan, secara makro,  pola back-loading ini mengurangi efektivitas fiskal daerah dalam menjaga momentum pertumbuhan, hingga menahan multiplier effect belanja publik. Pada akhirnya itu menurunkan efisiensi APBN karena dana transfer ke daerah mengendap di perbankan tanpa menstimulasi ekonomi riil.

Untuk mengubah pola tersebut, Rizal mengatakan reformasi kelembagaan dan manajemen fiskal daerah menjadi kunci. Pertama, perlu penguatan fiscal discipline dan fiscal governance melalui percepatan sinkronisasi antara siklus RPJMD, RKPD, dan APBD agar penetapan bisa dilakukan sebelum tahun berjalan, sesuai amanat UU Keuangan Daerah.

Kedua, implementasi sistem e-budgeting dan e-procurement harus terintegrasi sejak perencanaan agar proses persiapan kegiatan bisa berjalan paralel, bukan sekuensial.

Ketiga, pengawasan dari Kemendagri dan BPKP sebaiknya diarahkan tidak hanya pada kepatuhan administratif, tetapi juga pada kinerja penyerapan dan kualitas belanja daerah (output-based budgeting).

Selain itu, kata Rizal, perlu insentif fiskal berbasis kinerja. Misalnya, daerah dengan penetapan APBD tepat waktu dan realisasi triwulanan yang merata diberikan tambahan dana insentif daerah (DID).

“Dengan demikian, logika fiskal berubah dari sekadar ‘menghabiskan anggaran’ menjadi ‘memaksimalkan manfaat anggaran’. Pemerintah pusat juga dapat menetapkan cut-off dana transfer yang lebih tegas agar daerah terdorong mempercepat siklus APBD-nya,” jelas Rizal.

“Intinya, pola desentralisasi fiskal harus bertransformasi dari administratif menjadi produktif, yang mana tata kelola anggaran daerah menjadi instrumen pembangunan berkelanjutan, bukan sekadar ritual tahunan penyerapan,” pungkasnya.

Sumber: Media Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *