STRATEGINEWS.id, Medan — Dalam sistem hukum agraria Indonesia, Sertifikat Hak Milik (SHM) semestinya merupakan puncak tertinggi dari bukti kepemilikan yang sah atas tanah. Sertifikat ini tak hanya diakui oleh hukum, tapi juga dihormati dalam transaksi keuangan, dijadikan jaminan di lembaga keuangan, serta menjadi simbol kepastian hukum atas hak atas tanah seseorang.
Dalam beberapa tahun terakhir, nilai dan kehormatan itu terkikis perlahan. Dalam sejumlah kasus, sertifikat tidak lagi menjadi surat berharga ketika negara memilih diam, atau bahkan terkesan abai, dalam menghadapi keberingasan mafia tanah. Kasus-kasus perampasan tanah dengan aktor-aktor bersenjata hukum kian marak. Modusnya makin canggih: mulai dari pemalsuan dokumen, manipulasi data dalam sistem elektronik pertanahan, hingga kolusi dengan oknum aparat dan pejabat.
Tidak jarang pemilik tanah yang sah, bahkan dengan SHM di tangan, tiba-tiba menerima somasi dari pihak lain yang mengaku pemilik sah berdasarkan sertifikat baru
Lebih parah, mendapati tanahnya telah dikuasai pihak ketiga yang diduga memiliki koneksi kuat dengan elite tertentu.
Pasal 33 UUD 1945 telah menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam konteks pertanahan, hal ini berarti negara memiliki kewajiban untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah setiap warga negara.
Namun, apa jadinya jika justru negara tampak pasif, atau bahkan permisif, terhadap praktik-praktik mafia tanah? Diamnya negara bukan semata-mata berarti tidak berbuat, tetapi juga berarti mengingkari tanggung jawab konstitusional. Ketika korban mafia tanah harus berjuang sendiri di pengadilan dengan proses panjang, mahal, dan tidak pasti, maka negara sebenarnya telah mencuci tangan atas kewajiban dasar untuk memberikan perlindungan hukum.
Lebih ironis lagi, seringkali mafia tanah mampu memperoleh akses terhadap sistem administrasi pertanahan negara. Bahkan memunculkan sertifikat ganda, dengan cara-cara yang seharusnya tidak mungkin terjadi dalam sistem yang diklaim sudah berbasis digital.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik mafia tanah tidak akan tumbuh subur tanpa keterlibatan oknum aparat. Dalam banyak kasus, pihak-pihak yang terlibat bukan hanya mafia sipil, tetapi juga oknum dari institusi penegak hukum, pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN), notaris, bahkan pejabat pemerintahan daerah.
Hukum yang seharusnya menjadi pelindung warga malah menjadi alat represi kedua kalinya bagi korban. Sudah jatuh, tertimpa palu pengadilan. Ketiadaan tindakan tegas dan sistemik terhadap para pelaku, menjadikan kejahatan pertanahan sebagai kejahatan yang menguntungkan.
Rendahnya tingkat penuntutan terhadap mafia tanah menciptakan efek domino: warga tidak percaya lagi bahwa hukum akan melindungi mereka, dan para pelaku semakin berani mengulangi perbuatannya. Di titik ini, kita harus bertanya: untuk siapa sebenarnya hukum pertanahan diciptakan?
Dalam teori hukum agraria klasik, sertifikat tanah adalah alat pembuktian yang “prima facie”, artinya sah dan diakui hingga dibuktikan sebaliknya. Di lapangan, banyak pemilik sertifikat yang justru menjadi pihak yang harus membuktikan bahwa tanahnya bukan hasil kejahatan, seolah-olah bersalah hingga terbukti tidak bersalah. Beban pembuktian yang timpang ini mencerminkan ketidakadilan sistemik yang menghantui sektor pertanahan Indonesia.
Lebih tragis lagi, perbankan mulai menunjukkan sikap hati-hati terhadap sertifikat tertentu karena kerap kali terlibat sengketa hukum. Artinya, SHM sebagai surat berharga mulai kehilangan daya tawar dalam sistem ekonomi.
Jika trend ini terus dibiarkan, kita sedang menuju kehancuran asas kepastian hukum dalam hukum agraria. Negara tidak bisa lagi sekadar mengumumkan program sertifikasi massal, membanggakan digitalisasi layanan pertanahan, atau menampilkan slogan-slogan populis tentang “berantas mafia tanah.”
Perlu sejumlah langkah nyata dan konsisten. Pertama, audit menyeluruh atas penerbitan sertifikat yang rawan konflik. Kedua, penguatan integritas SDM di BPN dan lembaga terkait. Ketiga, mekanisme pengaduan dan penanganan cepat terhadap konflik pertanahan. Keempat, penegakan hukum tegas terhadap pelaku mafia tanah, termasuk aktor negara yang terlibat.
Di atas semua itu, negara perlu menunjukkan keberpihakan kepada korban, bukan kepada kepentingan modal atau jaringan kekuasaan yang menjadikan tanah sebagai alat akumulasi kekayaan dan kekuasaan. Kepemilikan tanah bukan sekadar persoalan agraria, tetapi persoalan keadilan sosial, hak asasi manusia, dan martabat warga negara. Sertifikat Hak Milik harus kembali menjadi simbol tertinggi perlindungan hukum atas tanah.
Untuk itu, negara tidak boleh lagi berdiri di pinggir lapangan sambil berpura-pura tidak tahu arah pertandingan. Bila negara terus memilih diam, maka bukan hanya tanah yang dirampas, tetapi juga masa depan hukum dan kepercayaan rakyat terhadap negara.
Jika sertifikat sudah tak lagi bisa menjamin rasa aman, maka kita harus bertanya lebih jauh: apakah negara ini masih bisa menjamin hak-hak dasar rakyatnya? seperti dikutip dari Kompas.com, Rabu (14/5/2025) siang.
(KTS/rel)
Kuncinya di bpn/atr. Sdh jelas di lembaga ini yg hrs dibereskan terlebih dahulu krn dokumen sah ada disini arsipnya. Kalaupun ada mafia tanah bergerak, jika atr/bpn memiliki integritas bagus, tidak akan ada sertifikat yg seharusnya palsu bisa terarsip di sini menjadi sertifikat aspal yg mengalahkan keabsahan sertifikat aslinya.
Banyak kasus di pembebasan lahan proyek jalan tol pemilik SHM yang harus membuktikan dan berhadapan dengan berbagai gugatan yang mungkin bisa beberapa kali gugatan perdata pengadilan karena terjebak dengan apa yang dinamakan “Konsinyasi” dimana ada celah yang dimanfaatkan untuk menahan atau menghambat proses pembayaran Uang Ganti Rugi ke pemilik tanah yang sudah ditentukan sebelumnya disitu kepemilikan SHM seperti tidak berharga lagi sebagai jaminan kepemilikan yang sah yang diakui negara. Dengan memanfaatkan “Konsinyansi” itu para oknum/mafia memanfaatkan celah tawar untuk meminta sejumlah nominal tertentu atau Pemilik akan terus berhadapan dengan pengadilan sampai ada kesepakatan damai ( ada nominal yamg disepakati )