STRATEGINEWS.id, Jakarta – Lebaran 2025 tampaknya akan menjadi momen yang menantang secara ekonomi bagi masyarakat Indonesia, dengan indikasi bahwa banyak orang harus “mengencangkan ikat pinggang” untuk menghadapi situasi tersebut.
Berdasarkan berbagai sumber, perputaran uang selama Lebaran 2025 diperkirakan menurun signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
Survei dari Kementerian Perhubungan memproyeksikan jumlah pemudik turun 24% menjadi 146,48 juta orang dari 193,6 juta pada 2024, yang berdampak pada penurunan perputaran uang sebesar 12,28%, dengan estimasi total antara Rp 137 triliun hingga Rp 145 triliun.
Penurunan ini dipicu oleh beberapa faktor, seperti kenaikan biaya mudik (20-30% lebih tinggi dari 2024), ancaman PHK, dan beban konsumsi yang meningkat, ditambah jarak libur Natal-Tahun Baru 2024/2025 yang berdekatan dengan Lebaran.
Selain itu, daya beli masyarakat juga melemah. Tunjangan Hari Raya (THR) yang biasanya menjadi penutup kebutuhan Lebaran kini lebih banyak dialokasikan secara hemat untuk kebutuhan pokok seperti makanan dan pakaian, bukan untuk belanja tambahan seperti parsel atau mudik jarak jauh.
Ekonom Achmad Nur Hidayat dari UPN Veteran Jakarta menyebut likuiditas yang mengetat dan kenaikan harga BBM sejak akhir 2024 sebagai pemicu utama. Masyarakat kelas menengah ke bawah, bahkan kelas menengah atas, terpaksa menahan belanja, dengan proporsi konsumsi Lebaran terhadap total belanja tahunan mencatatkan angka negatif (-0,4%) pada 2024—terendah dalam lima tahun terakhir.
‘Jadi, kencangkan ikat pinggang bukan hanya soal hemat, tapi juga strategi bertahan di tengah tekanan ekonomi yang diperkirakan berlangsung hingga Lebaran 31 Maret 2025,’’ Kata Achmad
“ Memasuki 2025, suasana itu berubah. Aroma kesulitan ekonomi terasa di setiap sudut, dari rumah tangga, pusat perbelanjaan, hingga terminal keberangkatan. Warga banyak yang menahan belanja, pedagang ritel merasakan penurunan penjualan, sementara pemudik terpaksa mengurungkan niat kembali ke kampung halaman,” ujarnya.
Pemerintah Gelontorkan Stimulus, tetapi Tak Cukup
Melansir dari Kompas.id, pemerintah mencoba menggenjot konsumsi dengan diskon tol, diskon tiket pesawat, dan pencairan bansos.
Namun, peneliti Indef, Riza Annisa Pujarama, menyebut, ”Stimulus dari Januari hingga Maret ini menunjukkan bahwa perekonomian dari sisi konsumsi sedang tidak baik-baik saja,” ujarnya dalam diskusi daring, Rabu (19/3/2025).
Bank Indonesia pun menurunkan persiapan uang layak edar menjadi Rp 180,9 triliun, dari tahun sebelumnya Rp 197,6 triliun.
”Penurunan ini juga mencerminkan kekhawatiran atas pelemahan ekonomi,” ujar Achmad Nur Hidayat, ekonom UPN Veteran Jakarta, Selasa (18/3/2025).
Ancaman Lebaran Tanpa Efek Domino Ekonomi
Ekonom Achmad Nur Hidayat menegaskan, penurunan tersebut dipicu berbagai faktor, antara lain daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih setelah gelombang PHK massal dan tekanan inflasi pada 2024.
Selain itu, kecenderungan masyarakat membelanjakan uang untuk produk impor serta berkurangnya dampak nyata dari pencairan THR, yang sebagian besar justru dialokasikan untuk membayar utang dan menambah tabungan, turut memperburuk situasi.
”Lebaran 2025 membuktikan konsumsi musiman tidak cukup menjadi motor pertumbuhan. Jika tidak diimbangi dengan produktivitas dan proteksi industri dalam negeri, Lebaran hanya menjadi euforia sesaat,” katanya.
Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2025 diperkirakan 4,5-4,7 persen, lebih rendah dibandingkan 2022-2024.
Ramadhan dan Lebaran tahun ini menjadi cermin kehati-hatian. Berhemat menjadi kata kunci, menandai kondisi ekonomi yang tidak mudah. Masyarakat memutar otak untuk bertahan, menunggu janji pemerintah dan berharap badai segera berlalu.
Selain itu, semangat sosial Lebaran juga agak memudar. Meski begitu, ada upaya untuk tetap menjaga makna Lebaran, misalnya dengan saling berkirim ucapan digital ketimbang bertemu langsung. Jadi, Lebaran 2025 mungkin terasa lebih sepi dan sederhana, tapi tetap menjadi momen refleksi di tengah tantangan zaman.
[sam/red]
Sumber: Kompas.id