Catatan budaya D. Supriyanto Jagad N *)
Saat rapat pleno terbuka pengundian dan penetapan nomor urut pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara yang digelar KPU Sumut menjadi ajang saling sindir sesama pasangan calon, Senin (23/9) malam.
Cawagub Sumut Surya yang menjadi pasangan Bobby Nasution sempat menyindir calon Gubernur Sumut Edy Rahmayadi. Surya yang juga Bupati Asahan itu menyebutkan bahwa malaikat tidak punya anak apalagi menantu.
Setelah itu Edy Rahmayadi di sela sela pidatonya, menyinggung bahwa Surya sudah mulai berani.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, di sana (pendukung Bobby) kok gak nyahut? itu berdosa. Yang menjawab masuk surga, termasuk pak Surya yang sudah mulai berani,” ujarnya.
Tak berhenti sampai di situ, sindiran pun kembali dilontarkan Eddy yang menyinggung soal kondisi infrastruktur terutama jalan yang rusak di berbagai wilayah di Sumatera Utara.
Dalam kontestasi politik di Pilkada, hendaknya dihindari agar tidak semakin melebar dan merusak nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Kontestasi politik merupakan perlombaan untuk memperjuangkan nilai-nilai kebaikan, bukan ajang untuk saling menjatuhkan.
Oleh karena itu, perbedaan yang ada harusnya mengajarkan kita untuk saling menghormati setiap pilihan politik warga negara dan berfokus dalam menemukan titik persamaan.
Setajam apapun perbedaan, kita akan tetap bisa duduk menemukan titik persamaan, bagaimana membangun daerah, bagaimana menyampaikan program-program yang baik untuk memajukan daerah dan kesejahteraan rakyat. Bukan menjadi ajang saling serang, saling menguliti, dan saling mencari kekurangan, lalu digoreng untuk meraih simpati publik. Politik dalam Pilkada serentak seharusnya dipahami sebagai sebuah kontestasi demokratis bukan ajang permusuhan.
Harmonisasi didalam berbagai interaksi dan proses komunikasi yang dijalani sehari-hari penting dijaga, apalagi menjeang pilkada ini yang karena perbedaan pilihan dapat menyebabkan keretakan hubungan sosial bahkan kekerabatan.
Menjaga nilai dan estetika komunikasi sangat penting dilakukan, supaya tidak menjadi sebuah persoalan di dalam masyarakat bahkan dapat menghancurkan nilai-nilai luhur pergaulan sosial. Melalui kesantunan dari para kandidat, akan membawa dampak positif bagi bertumbuhnya demokrasi yang sehat.
Oleh karena itu, upaya harmonisasi harus terus dipupuk dan dijaga sehingga keselarasan di dalam membangun dan mengembangkan interaksi sosial dapat terus berlangsung tanpa disebabkan oleh perbedaan pendapat ataupun pilihan.
Pelaku politik sering menggunakan kondisi masyarakat yang rapuh dan rawan pengaruh untuk keuntungan dan kepentingan politiknya. Kerapuhan rakyat yang tanpa disadari akan semakin menjadi bencana saat pengaruh para petualang politik masuk dalam kehidupan mereka.
Sudah saatnya kita kembali kepada jati diri kita sebagai bangsa yang berbudaya. Dan, yang bisa kita lakukan adalah membangun budaya politik yang sesuai dengan peradaban kita sebagai bangsa Indonesia yang berkarakter.
Ukuran baik buruk, benar salah, pantas tidak pantas dalam budaya demokrasi kita, tentu berbeda dengan negara lain, atau bangsa-bangsa lain.
Jangan pernah untuk mencoba menyerang orang lain hanya untuk menunjukkan bila kita lebih superior. Di awal memang terlihat keren, tetapi lama kelamaan kita sering dihantui ketidaktenangan yang membuat kita resah dan merasa bersalah.
Jangan pernah mencoba berbicara dengan umpatan, ya meskipun beberapa sudah biasa karena sudah amat kenal. Tapi ada baiknya kita belajar, karena sebagian besar dari kita menginginkan menjadi pemimpin yang baik, menjadi orang tua yang baik, supaya anak-anak kita, genernasi muda kita tidak meniru perkataan kita yang kurang pantas. Karena ceplas-ceplos dengan kalimat buruk dan umpatan ini secara tidak langsung terkadang menurun ke anak-anak.
Mari kita kawal pilkada ini dengan riang gembira sebagai layaknya sebuah pesta, sejuk dalam berfikir, sejuk dalam berbicara, akan menentukan kualitas demokrasi kita.
Mari berbenah, ruang itu masih ada
*) Pekerja Media, Sekretaris Jenderal DPP Persatuan Wartawan Republik Indonesia