banner 400x130

Analisis Moneter:
Relaksasi Fiskal dan Moneter: Kunci Mendorong Daya Beli dan Pertumbuhan Ekonomi

Achmad Nur Hidayat, MPP

Oleh: Achmad Nur Hidayat (Ekonom UPN Veteran Jakarta)

Perkembangan terbaru dalam kebijakan moneter Indonesia ditandai dengan langkah Bank Indonesia (BI) yang menurunkan suku bunga acuan atau BI-Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6 persen pada Rabu 18 September 2024. Kebijakan ini disampaikan dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia, yang menunjukkan respons BI terhadap dinamika perekonomian global dan domestik yang masih penuh ketidakpastian.

Selain penurunan suku bunga acuan, BI juga menurunkan suku bunga deposit facility dan suku bunga lending facility masing-masing sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen dan 6,75 persen.

Kebijakan penurunan suku bunga ini diyakini menjadi salah satu upaya untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional dengan memberikan stimulus tambahan bagi sektor riil. Penurunan suku bunga acuan diharapkan akan mengurangi beban biaya pinjaman, baik bagi sektor usaha maupun rumah tangga, sehingga dapat meningkatkan aktivitas investasi dan konsumsi dalam perekonomian.

Langkah ini juga menjadi bagian dari strategi BI dalam menjaga stabilitas ekonomi dan mendukung pertumbuhan yang lebih inklusif di tengah ketidakpastian ekonomi global, seperti fluktuasi harga komoditas dan perubahan kebijakan moneter di negara maju.

Namun, langkah BI ini menimbulkan berbagai pertanyaan dan perdebatan mengenai efektivitasnya dalam menghadapi kondisi eksternal dan implikasinya terhadap nilai tukar Rupiah. Di satu sisi, kebijakan ini dianggap positif dalam memberikan dorongan kepada kelas menengah dan dunia usaha. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa penurunan suku bunga bisa berdampak pada arus keluar modal asing dan melemahnya nilai tukar Rupiah. Berikut adalah analisis moneter mengenai langkah BI dan dampaknya.

Langkah BI Menurunkan Suku Bunga Acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) 25 bps ke 6% Sudah Tepat dan Perlu Diturunkan Lagi

Langkah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 6% merupakan kebijakan yang sangat positiif dan patut didukung. Namun, dalam situasi ekonomi saat ini, penurunan ini sebaiknya dilakukan lebih agresif lagi.

Kondisi ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian dan tekanan inflasi domestik yang relatif terkendali menjadi argumen kuat bahwa BI bisa menurunkan suku bunga lebih lanjut. Dengan penurunan suku bunga yang lebih besar, ruang gerak ekonomi, khususnya bagi kelas menengah dan para pengusaha, akan lebih luas.

Kelas menengah seringkali menjadi penopang perekonomian karena memiliki daya konsumsi yang kuat. Relaksasi melalui penurunan suku bunga acuan akan mengurangi beban pinjaman, terutama kredit konsumsi dan usaha, yang bisa mendorong aktivitas ekonomi. Para pengusaha juga akan lebih terdorong untuk melakukan ekspansi usaha atau investasi karena biaya pinjaman yang lebih rendah.

Langkah ini dapat memberikan momentum bagi ekonomi untuk kembali tumbuh lebih cepat pasca-pandemi. Oleh karena itu, BI seharusnya mempertimbangkan penurunan suku bunga lebih lanjut hingga setidaknya 50-75 bps. Kebijakan ini akan memberikan stimulus yang kuat bagi ekonomi, mendorong pertumbuhan usaha, dan meningkatkan daya beli kelas menengah. Dengan ekonomi yang lebih bergairah, potensi pertumbuhan dapat dimaksimalkan.

Dampak Penurunan Suku Bunga Acuan Terhadap Investor dan Nilai Tukar Tidak Perlu Dikhawatirkan

Kekhawatiran akan larinya investor akibat penurunan suku bunga acuan sebenarnya tidak perlu dilebih-lebihkan.

Saaat ini, kondisi ekonomi eksternal penuh ketidakpastian dengan banyak negara mengalami tekanan ekonomi.

Di tengah situasi seperti ini, investor yang masih bertahan di Indonesia adalah mereka yang memiliki kepercayaan tinggi terhadap iklim bisnis dan potensi ekonomi Indonesia. Mereka telah memperhitungkan risiko dan prospek dalam jangka panjang, bukan hanya dalam perspektif jangka pendek.

Selain itu, investor yang memiliki pandangan jangka panjang memahami bahwa penurunan suku bunga adalah bagian dari upaya untuk memperkuat ekonomi domestik. Dengan ekonomi yang lebih kuat, stabilitas makroekonomi akn lebih terjaga, yang pada akhirnya akan mendukung kinerja investasi mereka.

Sebaliknya, mempertahankan suku bunga tinggi dalam situasi saat ini justrru dapat menekan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi minat investasi baru.

BI juga memiliki sejumlah instrumen untuk menjaga nilai tukar Rupiah, seperti intervensi pasar valas dan pengelolaan cadangan devisa yang cukup. Dengan demikian, fokus utama kebijakan seharusnya pada penguatan ekonomi domestik dan daya beli masyarakat. Ketidakpastian global sebaiknya dihadapi dengan meningkatkan daya tahan ekonomi nasional melalui kebijakan yangg tepat.

Rezim Suku Bunga Tinggi Harus Segera Ditinggalkan untuk Menolong Kelas Menengah dan Mendorong Pertumbuhan

Rezim suku bunga tinggi perlu segera ditinggalkan karena berdampak langsung pada penderitaan kelas menengah yang telah cukup lama menghadapi tekanan ekonomi. Kebijakan suku bunga tinggi selama ini dirancang untuk menjaga inflasi dan stabilitass nilai tukar.

Namun, dalam situasi saat ini, pendekatan ini sudah tidak relevan dan bhkan kontra-produktif. Kelas menengah adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Mereka berkontribusi besar terhadap konsumsi dan pertumbuhan usaha. Namun, suku bunga tinggi telah meningkatkan biaya pinjaman, menekan daya beli, dan mengurangi kemampuan investasi mereka.

Indonesia seharusnya menjadi pemimpin dalam mengaakhiri rezim suku bunga tinggi ini.

Langkah ini penting tidak hanya untuk mendorong pemulihan ekonomi, tetapi juga untuk memberikan ruang bernapas bagi kelas menengah yang terus merasakan beban ekonomi. Terlebih lagi, jika kebijakan ini tidak diambil segera dan tepat waktu, keelas menengah mungkin tidak akan mampu bertahan.

Perlunya Harmonisasi Kebijakan Fiskal dan Moneter Sekaligus

Kebijakan moneter dan fiskal adalah dua instrumen penting dalam menjaga stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan. Penurunan suku bunga acuan (BI rate) oleh Bank Indonesia (BI) merupakan langkah positif untuk merangsang aktivitas ekonomi melalui peningkatan investasi dan konsumsi. Namun, kebijakan ini akan lebih efektif jika diharmonisasikan dengan kebijakan fiskal yang mendukung. Dalam konteks saat ini, penurunan BI rate perlu diikuti dengan langkah-langkah relaksasi fiskal, seperti penundaan berbagai kenaikan tarif dan pajak yang berpotensi membebani masyarakat dan pelaku usaha.

Pertama, penundaan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi krusial agar tidak membebani daya beli masyarakat. Kenaikan PPN dapat menyebabkan harga barang dan jasa meningkat, yang pada akhirnya bisa menghambat konsumsi dan mengurangi efek positif dari penurunan suku bunga acuan.

Kedua, penundaan kenaikan tarif KRL dan iuran tambahan pensiun akan langsung meringankan beban pengeluaran rumah tangga, terutama bagi kelas menengah dan masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini penting untuk menjaga konsumsi domestik yang merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

Selanjutnya, menunda kenaikan tarif listrik dan harga BBM juga menjadi bagian dari harmonisasi ini. Biaya listrik dan BBM yang stabil akan menekan biaya operasional sektor industri dan transportasi, sehingga dapat mencegah inflasi dari sisi biaya produksi.

Penundaan kenaikan pajak kendaraan bermotor dan tarif tol akan lebih lanjut membantu menurunkan biaya logistik dan distribusi barang. Dengan demikian, harga-harga kebutuhan pokok di pasar dapat tetap terkendali.

Harmonisasi antara kebijakan fiskal dan moneter ini akan memberikan efek ganda yang lebih kuat dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya beli masyarakat, dan menjaga kestabilan harga. Kebijakan ini memastikan pemulihan ekonomi berjalan optimal tanpa menambah beban bagi masyarakat dan dunia usaha.

banner 1080x90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *