banner 400x130
Opini  

Demokrasi Religius: Muslim Revivalis Pra-Modernis, Kesulitan Menerima Paham Kebangsaan

Prof. Dr. Muhammad Azhar

Prof. Dr. Muhammad Azhar, MA.

Dosen FAI-Pascasarjana UMY dan LARI (Lingkar Akademisi Reformis Indonesia)

 

Peristiwa  penangkapan dua terduga teroris yang disinyalir terkait dengan Jamaah islamiyah, sekaligus penyitaan ratusan kotak amal untuk pendanaan terorisme; menghiasi berbagai media cetak maupun online serta televisi. Secara fundamental ideas, fenomena ini mewakili komunitas kecil kaum Revivalis Pra-Modernis yang masih kesulitan filosofis-ideologis dan psikologis dalam mengintegrasikan antara Islamic values dan nation state. Fenomena yang sama bisa juga menimpa minoritas agama di luar Islam maupun komunitas radikal lainnya.

Untuk membicarakan topik perspektif Islam tentang Kebangsaan, Islam itu selalu berada pada dimensi meta space & meta time (mengatasi ruang dan waktu).  Itu artinya, Islam selalu dapat mewarnai semua dimensi ruang dan waktu, termasuk dimensi ruang dan waktu keindonesiaan.

Sebagaimana dimaklumi, Islam juga bersifat rahmatan lil ‘alamin, yang mengandung arti nilai Islam mengayomi semua potensi kesukuan dan kebangsaan, secara lokal maupun global. Nilai-nilai keislaman dapat beradaptasi dalam semua aspek kebangsaan, di Timur-Barat, Utara-Selatan. Islam memang satu, namun refleksi dan ekspresi kultural keislaman bersifat plural, termasuk di dalamnya dimensi kultural keindonesiaan.

Meminjam teori Imam Syafii bahwa adat, tradisi kultural dapat saja dijadikan acuan hidup manusia (al-‘adatu muhakkamatun), sepanjang tidak bertentangan dengan nilai universalitas Islam (syari’ah). Maka, refleksi kultural Islam – secara global – bisa bersifat – ke-Timur-an, ke-Barat-an; maupun dalam konteks lokal dapat bersifat: ke-Jawaan, ke-Acehan, ke-Madura-an, ke- Papua-an, bahkan secara nasional bersifat keindonesiaan, dimana ideologi Pancasila dapat dikatakan sebagai refleksi atau tafsir kultural Islam untuk konteks keindonesiaan. Meminjam teori Imam Syafii, Pancasila merupakan “Adat bangsa” Indonesia yang memayungi ribuan adat dan agama-agama di Indonesia.

Untuk memajukan peradaban Indonesia masa depan, maka bukan saatnya lagi memperhadapkan sila-sila – yang sangat islami – yang ada dalam ideologi Pancasila vis-a-vis dengan agama Islam, termasuk dengan agama-agama lainnya. Justeru nilai-nilai keislaman dapat menyinari dan menumbuhkembangkan butir-butir sila yang ada dalam Pancasila. Saat ini dimensi kemanusiaan (humanity), semangat atau etos: antikorupsi, menjaga lingkungan hidup, antikekerasan, antiterorisme, merupakan upaya yang konkrit untuk merawat dan menjaga semangat wawasan kebangsaan di Indonesia, kini dan masa depan.

Secara paradigmatic (paradigm), pemikiran keislaman Revivalisme Modernis (Islam rasional), Neomeodernisme Islam, Posmodernisme Islam dan Islam Progresif, lebih dapat beradaptasi dengan paham kebangsaan, ketimbang paradigma Revivalisme Pra-Modernis (termasuk Salafisme radikal: bedakan dengan Salafisme non-radikal) – seperti kelompok “industri” bunuh diri – yang memang sulit berinteraksi dengan gagasan nasionalisme dan modernisme. Kelemahan intelektualisme dan cara berpikir monolitik, menyebabkan Revivalisme Pra-Modernis ini sulit bertahan di era modern saat ini dan cenderung menolak ideologi kebangsaan di dunia Islam seperti Pancasila di Indonesia.

Sejarah Islam awal di Indonesia sebenarnya sudah mulai terbiasa dengan paham kebangsaan sebagaimana yang diimaginasikan dan direfleksikan dalam berbagai tulisan ulama Persis (Persatuan Islam) A. Hasan Bandung, Ir. Soekarno, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, sampai dengan era KH AR Fakhrudin, Amien Rais, Nurcholish Madjid (Cak Nur), Syafii Maarif, Abdurrahamn  Wahid (Gus Dur) dll. Itulah sebabnya, Muhammadiyah dan NU telah dapat menerima Pancasila sebagai ideologi negara yang plural seperti Indonesia. Ini berarti, warga negara Indonesia atau umat Islam yang menolak Pancasila akan berhadapan dengan TNI-POLRI, Non-muslim bahkan dengan Muhammadiyah-NU sendiri. Itu merupakan pekerjaan yang sia-sia alias mubazir. Umat Islam Indonesia sebaiknya fokus pada musuh baru bersama yaitu: ideologi kemiskinan, ideologi kekerasan/terorisme, ideologi kebodohan, ideologi korupsi, perubahan iklim, stunting, judi online, narkoba, KDRT dan sejenisnya. Wallahu a’lam bisshawab.-

 

banner 1080x90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *