STRATEGINEWS.id, Jakarta – Ketua Umum DPP Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri (Pepabri), Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar, mengingatkan agar tidak coba-coba untuk menempatkan prajurit TNI di jabatan sipil tanpa adanya permintaan. Agum mengungkit kritik masyarakat terhadap TNI di waktu lalu.
“Oh jangan. Nggak perlu lagi. Sudah jelas. Kalo memang ada permintaan ya. Itu pun berpulang dari TNI nya. Bisa nggak memenuhi permintaan itu. Kalau tidak ada permintaan, jangan coba-coba beri atau TNI kirim orang ke sana. Itu salah itu. Itu yang dicaci maki oleh rakyat waktu itu. Seolah-olah itulah dwifungsi, itu bukan dwifungsi,” kata Agum kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (22/5/2023).
Disampaikan Agum terkait dwi fungsi ABRI di masa Orde Baru, bermaksud membawa bangsa Indonesia ke tujuan nasional.
“Dwifungsi itu adalah suatu peran dari TNI/Polri, ABRI waktu itu bersama-sama dengan kekuatan sosial politik lainnya untuk bersama-sama membawa bangsa ini ke tujuan nasional. Itu dwifungsi, bukan penugaskaryaan. Penugaskaryaan itu permintaan. Tanpa permintaan tidak ada tugas karya,” ujar Agum.
Agar tidak menimbulkan simpang siur, Agum meminta semua pihak untuk bisa membedakan penugasan TNI di jabatan sipil. Penugasan itu, menurut Agum, berdasarkan adanya permintaan,
“Penugasan ini dasarnya adalah permintaan. Kalau katakanlah di satu kabupaten, rakyat aspirasinya bupatinya seorang militer, maka diproses ini, diajukan kepada korem, diajukan ke kodam, diajukan ke Mabes, ada permintaan. Tanpa permintaan kita tak bisa naro anggota kita di mana-mana. Tidak bisa. Harus ada permintaan. Tetapi memang suatu ketika permintaan ini direkayasa. Itu yang salah,” ujar Agum.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritisi rencana revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Koalisi Masyarakat Sipil menilai rencana perubahan sejumlah pasal adalah bentuk kemunduran demokrasi dan berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI.
Dalam keterangan tertulis, Selasa (9/5/2023), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, Walhi, YLBHI, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, dan AJI Jakarta.
Mereka berpendapat dalam slide pembahasan RUU TNI terdapat sejumlah usulan perubahan pasal yang berpotensi membahayakan kehidupan demokrasi hingga pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Air.
“Kami memandang pemerintah sebaiknya meninjau ulang agenda revisi UU TNI, mengingat hal ini bukan merupakan agenda yang urgen untuk dilakukan saat ini. Ditambah lagi, substansi perubahan yang diusulkan oleh pemerintah bukannya memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak tahun 1998, tapi justru malah sebaliknya. Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI,” bunyi rilis Koalisi Masyarakat Sipil yang diberikan oleh Ketua Centra Initiative Al Araf.
Terkait wacana revisi UU Nomor 34 Tahun 2004, Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum memberikan komentar banyak. Jokowi bakal menyampaikan pandangan resmi setelah selesai pembahasan.
“Nanti kalau sudah selesai baru komentari,” kata Jokowi di Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta Utara, Senin (15/5/2023).
Jokowi mengatakan revisi UU TNI saat ini masih dalam proses pembahasan. Dia kembali menegaskan belum bisa bicara banyak soal wacana tersebut.
[dul/red]