STRATEGINEWS.id, Jakarta – Dinamika politik tanah air jelang pemilu 2024, turut menjadi bahasan dalam pertemuan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi [ Menko Marinves] Luhut Binsar Pandjaitan dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, di Wisma Nusantara Jakarta Pusat, Jumat [5/5]
Luhut mengakui, dalam pertemuan tersebut turut membicarakan figur bakal calon wakil presiden (bacawapres) untuk bakal calon presiden (bacapres) Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Anies Baswedan.
Menurut Komunikolog Indonesia Emrus Sihombing, perjumpaan Surya Paloh (Surya) dan Luhut Binsar (Luhut) dari aspek komunikasi politik, berhasil dimenangkan Surya dengan telak. Tidak heran bisa saja Surya memanen utung opini publik. Sebaliknya Luhut kalah telak, jika itu pertandingan bola, skor 1 – O. Namun anehnya bisa jadi Luhut tidak merasa mengalami kerugian dari segi opini publik. Mengapa?
“ Lalu siapa berpotensi rugi di ruang publik dari perjumpaan Surya – Luhut? Bila kita simak makna tertulis dan tersirat dari pesan Surya tersebut, bisa saja Jokowi di posisi rugi dari penilaian publik. Sebab, Surya minta agar Jokowi setop “endorse” Capres tertentu,” kata Emrus, kepada strateginews.id, Minggu [7/5]
Emrus menilai, dari sudut pesan komunikasi tersebut, posisi Surya seolah lebih “di atas angin” dibanding Jokowi.
“ Surya sangat smart dan cerdik memanfaatkan momentum, mengemas serta melontarkan pesan komunikasi politik, di tengah hiruk pikuk wacana pemasangan baloncapres dan baloncawapres. Sementara Luhut tampak tidak menduga bahwa Surya meluncur pesan komunikasi seperti itu sehingga Luhut terkesan tidak sigap menangkal pesan yang jitu tersebut. Surya berhasil menyampaikan pesan, minta agar Jokowi setop “endorse” capres tertentu,” tutur Emrus.
Pesan Surya tersebut , kata Emrus bisa dimaknai sebagai kekecewaan Surya kepada Jokowi, sekalipun ada tiga menteri kabinet Jokowi dari Nasdem yang dipimpin oleh Surya. Karena itu, Surya bisa memenangkan opini publik dari perjumpaan Surya dengan Luhut.
“ Akan beda jika Luhut mampu mengemukakan bahwa bilapun Jokowi “endorse” balocapres tertentu, Jokowi di situ sebagai warga negara dan kader dari suatu partai tertentu, bukan sebagai presiden. Dengan demikian, pertemuan Surya – Luhut bisa remis, atau win-win (menang-menang). Atau terbuka peluang opini publik menguntungkan Jokowi,” ungkapnya.
Emrus menambahkan, seandainya konsep status dan peran dikemukakan Luhut sangat kuat landasan ilmiahnya. Dari aspek sosiologi, setiap manusia memiliki multi status, otomatis multi peran. Setiap orang harus berperan sesuai statusnya saat tertentu. Jika seseorang bertindak tidak sejalan dengan statusnya saat itu, dipastikan terjadi disorder sosial (kekacauan sosial).
Oleh karena itu, ucap Emrus, pada situasi saat ini, menjelang, saat kampanye nanti, pemungutan suara hingga sampai pelantikan Presiden, sebaiknya yang berbicara atas nama Presiden RI hanya Jokowi dan atau Juru Bicara ( Jubir) Presiden.
“ Untuk itu, saya menyarankan kepada Presiden Jokowi berkenan segera mengangkat Jupir Presiden agar bisa mengelola komunikasi lembaga kepresidenan dengan baik dan profesional. Oleh karena itu, Jubir harus dari seorang komunikolog handal yang mengusai betul konsep, teori, aksiologi dan diterima di ruang publik,” pungkas Emrus.
[nug/red]