Oleh Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Pertanyaan yang perlu kita ajukan hari ini sangat sederhana tetapi menentukan: apakah paparan Cs 137 di Cikande hanya insiden lokal di satu kawasan industri, atau sinyal bahwa industrialisasi Indonesia sedang dibangun di atas fondasi tata kelola yang rapuh?
Pertanyaan ini muncul ketika pemerintah mengakui puluhan perusahaan di kawasan Industri Modern Cikande terdeteksi paparan radionuklida Cesium 137, mulai dari peleburan logam, pengelola limbah, sampai pangan dan alas kaki.
Di saat yang sama, Indonesia sedang mendorong manufaktur sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Kontradiksi ini tidak boleh kita abaikan.
Masalahnya dapat dirumuskan begini. Kita ingin mengejar peran besar di rantai pasok global, tetapi sistem pengawasan bahan baku, limbah, dan perlindungan warga belum siap menghadapi risiko teknologi yang menyertai industrialisasi modern.
Paparan Cs 137 bukan sekadar noda teknis yang bisa dilap dengan konferensi pers. Ia adalah cermin yang memantulkan seberapa serius kita mengelola risiko dalam perjalanan menjadi negara industri.
Dari Scrap ke Slag, Dari Slag ke Rantai Pasok
Untuk memahami akar persoalannya, bayangkan industri sebagai dapur besar. Di sana, scrap logam adalah salah satu bahan utama.
Dalam kasus Cikande, di titik ini pintu masuk Cs 137 terbuka.
Sebuah pabrik peleburan scrap di kawasan tersebut diduga menerima bahan baku yang mengandung Cs 137, kemungkinan besar berasal dari peralatan medis atau alat ukur industri bekas yang seharusnya dikelola sebagai limbah radioaktif, bukan sekadar rongsokan biasa.
Ketika scrap tercemar ini masuk ke tungku, Cs 137 tidak lenyap bersama api.
Ia bertahan di slag dan debu, kemudian menyebar ke titik lain. Slag ini digunakan sebagai material urugan di sekitar kawasan, termasuk di area yang dekat dengan aktivitas warga.
Akibatnya, paparan tidak lagi terbatas di dalam pagar pabrik, melainkan menjadi persoalan kawasan.
Pemerintah kemudian melakukan dekontaminasi terhadap puluhan pabrik dan mengangkut ratusan ton material terkontaminasi ke lokasi penyimpanan sementara, sambil memindahkan sementara sejumlah keluarga yang tinggal di sekitar titik slag.
Artinya, penyebab paparan Cs 137 tidak berdiri di satu titik.
Ia adalah kombinasi seleksi bahan baku yang lemah, pengelolaan slag yang longgar, serta tata ruang industri permukiman yang terlalu berdempetan.
Industri Seperti Jantung, Cikande Seperti Kateter yang Bermasalah
Untuk mempermudah isu teknis ini, mari gunakan analogi tubuh manusia.
Jika perekonomian adalah tubuh, maka manufaktur adalah jantung yang memompa darah berupa kesempatan kerja dan nilai tambah ke seluruh organ.
Kawasan industri seperti Cikande adalah ruang kateterisasi, tempat aliran produksi diuji dan dipacu.
Ketika jantung bekerja menggunakan darah yang tercemar, tubuh tidak langsung roboh, tetapi ritmenya terganggu.
Begitu pula dengan Cs 137 di Cikande. Pabrik memang bisa kembali beroperasi setelah dekontaminasi, namun ritme kepercayaan berubah.
Pekerja cemas, keluarga waswas, investor bertanya tanya. Ada luka tak kasatmata yang harus diakui.
Analogi lain, Cs 137 adalah kebocoran gas di dapur. Tidak terlihat, tidak berisik, tetapi membuat semua orang di rumah hati hati setiap kali menyalakan kompor.
Industri tetap bergerak, tetapi dengan lapisan kehati hatian yang mahal.
Gelombang Getar ke Industri Nasional
Dampak paparan Cs 137 tidak berhenti di Cikande. Kasus ini mengirim gelombang getar ke industri nasional, terutama sektor yang berorientasi ekspor.
Badan pengawas di Amerika Serikat menemukan jejak Cs 137 pada udang beku dan produk lain yang terhubung dengan fasilitas di sekitar Cikande.
Beberapa kontainer harus ditolak, diperiksa ulang, bahkan di recall. Bagi pasar global, yang diuji bukan hanya kadar radiasinya, tetapi juga kredibilitas sistem pengawasan di negara asal.
Bagi Indonesia, konsekuensi ekonominya nyata. Udang adalah salah satu komoditas ekspor unggulan.
Ketika satu kasus radiasi menjadi alasan pengawasan yang lebih ketat, pelaku usaha di hilir menahan pembelian, harga di petambak melemah, dan puluhan ribu rumah tangga ikut terdampak.
Di sektor alas kaki dan manufaktur non pangan, kekhawatiran mitra dagang membuat perusahaan harus menjelaskan ulang protokol keamanan mereka, sesuatu yang tidak mudah di tengah persaingan dengan negara lain di kawasan.
Dalam jangka pendek, industri menghadapi downtime pabrik, biaya dekontaminasi, dan pengetatan impor scrap.
Dalam jangka menengah, yang paling berbahaya adalah turunnya kepercayaan. Pasar global mungkin memaafkan satu insiden, tetapi tidak akan melupakan kesan bahwa tata kelola risiko di negara tersebut lemah.
Dari Krisis Teknis ke Reformasi Tata Kelola
Pertanyaannya sekarang bukan lagi sekadar mengapa Cs 137 bisa masuk ke Cikande, tetapi apa yang akan Indonesia lakukan setelah tahu hal ini bisa terjadi. Di sinilah kebijakan publik diuji.
Ada dua pilihan. Pertama, pendekatan minimal: menyatakan pabrik sudah clear, zona merah berkurang, impor scrap dibuka lagi dengan sedikit tambahan dokumen.
Narasi ini menyenangkan jangka pendek, tetapi tidak membangun kepercayaan jangka panjang.
Pilihan kedua adalah menjadikan Cikande sebagai titik balik reformasi tata kelola industri. Ini berarti menjadikan deteksi radiasi sebagai bagian standar due diligence bahan baku di sektor yang menggunakan scrap.
Pelabuhan besar dan gerbang kawasan industri perlu dilengkapi portal monitor radiasi.
Regulasi limbah B3 dan bahan radioaktif perlu diintegrasikan sehingga slag tidak lagi diperlakukan sebagai batu urugan biasa.
Tata ruang kawasan industri harus ditata ulang dengan buffer keselamatan, bukan hanya demi efisiensi lahan.
Langkah langkah ini tentu menaikkan biaya kepatuhan.
Namun di era ketika standar lingkungan dan keamanan menjadi syarat utama akses pasar, biaya ini adalah investasi reputasi. Indonesia berpeluang memposisikan diri bukan hanya sebagai basis produksi murah, tetapi sebagai basis produksi yang aman dan bertanggung jawab.
Ujian Cs 137 dan Masa Depan Manufaktur
Paparan Cs 137 di Cikande adalah ujian yang datang lebih cepat dari yang kita perkirakan. Ia menguji apakah kita serius membangun industri modern yang tahan terhadap risiko, atau sekadar mengejar angka pertumbuhan tanpa memperkuat fondasi.
Penyebab paparan ini menunjukkan lubang di hulu, di tengah, dan di hilir tata kelola.
Konsekuensinya dirasakan dari pekerja pabrik sampai petambak udang, dari keluarga di sekitar slag sampai pejabat yang bernegosiasi dengan mitra dagang.
Jika dari kasus ini lahir reformasi yang konkret, maka Cs 137 justru bisa menjadi titik balik yang mengangkat kelas industri Indonesia.
Pertumbuhan manufaktur yang kita kejar bukan hanya soal seberapa cepat pabrik berproduksi, tetapi seberapa besar kepercayaan dunia pada setiap produk yang kita kirim keluar negeri. Di situlah, pada akhirnya, martabat sebuah negara industri ditentukan.
END












