Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2026 menimbulkan pertanyaan: apakah langkah ini demi menjaga stabilitas industri dan pekerja, atau justru mengorbankan kesehatan publik serta penerimaan negara?
Pertanyaan sederhana itu membuka perdebatan lebih luas tentang bagaimana Indonesia menyeimbangkan kepentingan fiskal, industri, dan kesehatan masyarakat.
Rokok dan Analogi “Rem Darurat”
Cukai rokok ibarat rem darurat di jalan menurun. Dengan tarif yang naik, konsumsi bisa ditekan.
Ketika tarif dibiarkan tetap, rem itu seolah dilepas dengan alasan mesin kendaraan—industri rokok—membutuhkan tenaga untuk terus berjalan.
Namun, apakah pelepasan rem ini membuat perjalanan lebih aman, atau justru memperbesar risiko kecelakaan sosial di masa depan?
Industri Rokok dan Kepastian Jangka Pendek
Dari sisi industri, keputusan ini memberi kepastian. Produsen, terutama yang memproduksi sigaret kretek tangan (SKT), bisa merencanakan produksi tanpa khawatir kenaikan biaya.
Bagi buruh linting rokok, hal ini terasa sebagai kabar lega.
Stabilitas harga juga menjaga konsumen tidak beralih ke rokok ilegal yang lebih murah.
Namun, kepastian ini bersifat jangka pendek.
Tren global menunjukkan konsumsi rokok menurun, bergeser ke produk alternatif seperti vape.
Tanpa roadmap transisi, industri bisa terjebak dalam stagnasi. Jika ingin bertahan, industri harus “naik kelas” dengan diversifikasi, bukan sekadar bertahan pada status quo.
Penerimaan Negara dan Ketergantungan Fiskal
Cukai hasil tembakau menyumbang lebih dari Rp200 triliun per tahun. Rokok menjadi “sapi perah” fiskal Indonesia.
Namun, tanpa kenaikan tarif, penerimaan sangat bergantung pada penertiban rokok ilegal.
Jika pengawasan kuat, penerimaan bisa terjaga. Jika tidak, risiko defisit terbuka lebar.
Keputusan ini pada akhirnya memindahkan beban dari tarif ke aparat penegak hukum.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dituntut lebih agresif menutup celah peredaran ilegal. Artinya, tanpa reformasi tata kelola, kebijakan “tarif tetap” bisa menjadi jebakan fiskal.
Agenda Kesehatan yang Tersandera
Dimensi kesehatan publik tampak paling tertekan. Prevalensi perokok usia 10–18 tahun di Indonesia masih tinggi, sekitar 7,4%.
WHO sudah menegaskan bahwa kenaikan cukai adalah instrumen paling efektif untuk menurunkan konsumsi.
Tidak menaikkan tarif berarti melepas salah satu alat kontrol utama.
Analogi sederhana: seorang dokter tahu pasiennya sakit parah, tapi alih-alih memberi resep diet ketat, ia hanya menambahkan vitamin.
Begitulah kebijakan cukai kita—tanpa menaikkan tarif, agenda pengendalian konsumsi kehilangan taring.
Keseimbangan Kepentingan: Buruh dan Generasi Muda
Pemerintah sering menggambarkan isu ini sebagai dilema: menaikkan tarif bisa mengancam buruh, sementara tidak menaikkan tarif berarti mengorbankan kesehatan.
Padahal, dilema ini bisa diatasi. Diversifikasi industri tembakau dan program alih keterampilan bagi buruh bisa menjadi jalan tengah.
Dengan begitu, melindungi pekerja tidak harus berarti mengorbankan generasi muda.
Analogi Rumah Tangga
Bayangkan sebuah rumah tangga. Ayahnya perokok berat, dan sebagian besar penghasilan habis untuk rokok.
Suatu hari, ia bilang: “Anggaran rokok tidak akan naik, tapi juga tidak turun.”
Anak-anak lega, tapi istri resah karena uang dapur tetap tersedot. Begitulah posisi Indonesia sekarang: negara tetap bergantung pada penerimaan rokok, pekerja bergantung pada industri, sementara kesehatan publik tetap jadi korban yang tak bersuara.
Naik Kelas: Bukan Sekadar Naik Tarif
Judul “cukai rokok harusnya naik kelas” berarti orientasi kebijakan harus berubah.
Pertama, cukai diposisikan bukan hanya instrumen fiskal, tapi juga instrumen kesehatan.
Kedua, pemberantasan rokok ilegal harus nyata, dengan teknologi pengawasan yang transparan.
Ketiga, industri didorong melakukan transformasi agar tidak hanya bertahan, tapi siap bersaing dalam tren global.
Naik kelas juga berarti pemerintah tidak boleh ambigu.
Indonesia berkomitmen pada Sustainable Development Goals (SDGs) untuk menurunkan prevalensi merokok, namun tetap mempertahankan tarif cukai.
Konsistensi kebijakan adalah syarat mutlak.
Momentum yang Tak Boleh Hilang
Keputusan tidak menaikkan cukai rokok 2026 bisa dipahami sebagai upaya menjaga stabilitas.
Namun, jika berhenti di situ, kebijakan ini hanya menunda masalah.
Momentum ini harus dimanfaatkan untuk menertibkan pasar ilegal, memperkuat pengawasan harga eceran, dan mengalokasikan penerimaan untuk kesehatan masyarakat.
Indonesia tidak boleh terus terjebak dalam dilema semu.
Dengan desain kebijakan yang tepat, industri bisa hidup, buruh terlindungi, penerimaan terjaga, dan kesehatan publik tetap menjadi prioritas.
Cukai rokok Indonesia harus naik kelas—bukan hanya dalam tarif, tetapi dalam visi: menjadikan kebijakan fiskal sebagai jembatan menuju bangsa yang lebih sehat, adil, dan berdaya saing.
END