STRATEGINEWS.id, Subulussalam – Seminar sehari pemajuan kebudayaan yang digelar di Pusat Pelatihan dan Perdesaan Swadaya, Desa Suka Makmur, Kamis (11/9/2025), menghadirkan perwakilan 13 etnis serta komunitas seni budaya di Kota Subulussalam. Kegiatan ini difasilitasi oleh Badan Pelestarian Kebudayaan Wilayah (BPKW) Aceh.
Namun di balik meriahnya agenda kebudayaan tersebut, muncul pertanyaan mendasar: dimanakah peran Pemerintah Kota Subulussalam?
Padahal sesuai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, tanggung jawab utama ada pada pemerintah pusat hingga pemerintah kota/kabupaten. Pemerintah daerah wajib menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD), menyediakan anggaran, serta memfasilitasi ruang berekspresi bagi seniman dan komunitas budaya.
Sayangnya, dalam seminar kali ini pemerintah kota tidak hadir langsung, kecuali melalui perwakilan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Komunitas seni dan budaya menilai hal ini sebagai tanda lemahnya komitmen Pemkot dalam menjadikan kebudayaan sebagai sumber kekuatan dan persatuan warga Subulussalam.
“Kami sudah lama bergerak sendiri. Komunitas yang memfasilitasi, komunitas yang menghidupkan. Tapi di mana peran pemerintah kota? Seharusnya merekalah motor utama, bukan sekadar penonton,” keluh Dedy Rogandy alias Bolang salah satu peserta seminar.
Sebagai kota perbatasan dengan Sumatera Utara, Subulussalam memiliki kekayaan keberagaman etnis: Aceh, Pakpak, Singkil, Jawa, Alas, Gayo, Batak, Karo, Padang, Mandailing, Melayu, Nias, hingga Jame. Potensi ini bisa menjadi modal besar membangun kota berbasis budaya, apalagi dengan keberadaan situs makam Syekh Hamzah Fansuri yang sudah tercatat dalam Memory of the World UNESCO.
Harapan besar juga lahir dalam seminar ini, yakni rencana mendirikan Rumah Adat 13 Etnis, layaknya miniatur Taman Mini Indonesia Indah. Namun tanpa kehadiran nyata pemerintah kota, gagasan ini berisiko hanya menjadi wacana.
Sudah saatnya Pemkot Subulussalam berhenti hanya hadir dalam seremoni, tetapi benar-benar turun tangan lewat kebijakan, anggaran, dan program yang berkelanjutan. Kebudayaan bukan sekadar warisan, melainkan fondasi peradaban dan persatuan di kota yang multi-etnis ini.
Ketidakhadiran ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah Pemkot Subulussalam menempatkan kebudayaan hanya sebagai agenda pinggiran, bukan prioritas pembangunan? Jika demikian, Subulussalam kehilangan kesempatan emas menjadikan keberagaman etnis sebagai modal sosial dan kekuatan pembangunan kota.
Kebudayaan bukan sekadar tontonan festival tahunan. Kebudayaan adalah identitas, perekat persatuan, dan fondasi peradaban. Jika pemerintah terus mengabaikannya, maka komunitas seni akan terus berjalan sendiri tanpa arah dukungan.
Kami menyerukan agar Pemkot Subulussalam segera membuktikan komitmen nyata: hadir, memimpin, dan memfasilitasi. Rencana besar membangun Rumah Adat 13 Etnis tidak boleh dibiarkan sekadar wacana.
Subulussalam akan kuat jika budaya dijadikan pusat pembangunan. Sebaliknya, abainya pemerintah hanya akan membuat kota ini kehilangan jati diri di tengah derasnya arus modernisasi.
[dedi]