Oleh Achmad Nur Hidayat — Ekonom & Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Belum genap sehari menjabat, Menteri Keuangan baru Purbaya Yudhi Sadewa langsung menimbulkan kontroversi.
Ucapannya yang meremehkan tuntutan publik dengan keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi 6–7 persen akan otomatis meredam kritik, membuat publik dan pasar terkejut.
Sikap percaya diri yang berlebihan atau overconfidence ini menjadi alarm: apakah ke depan ia akan menjadi manajer fiskal yang kredibel, atau justru berbahaya bagi stabilitas publik dan pasar?
Bahaya Overconfidence dalam Kepemimpinan Fiskal
Overconfidence seorang pejabat ekonomi ibarat sopir yang terlalu percaya diri melaju kencang di jalan licin.
Alih-alih tiba lebih cepat, risiko kecelakaan justru meningkat. Pernyataan Purbaya mengandung dua bahaya besar.
Pertama, ia menyederhanakan persoalan kompleks. Demonstrasi bukan sekadar masalah perut.
Kritik publik muncul karena kesenjangan, ketidakadilan, dan ketidakpercayaan terhadap kebijakan. Menganggapnya hanya karena “hidup kurang enak” mereduksi makna demokrasi.
Kedua, pasar membaca sinyal dari setiap ucapan Menkeu.
Jika sinyal itu berupa keyakinan berlebihan tanpa rencana konkret, pasar bisa ragu pada kapasitas pemerintah mengelola fiskal.
Keraguan ini berpotensi mendorong volatilitas nilai tukar, menahan investasi, bahkan memicu pelarian modal.
Publik Membutuhkan Peta Jalan, Bukan Retorika
Pertumbuhan 8 persen bukan sekadar slogan. Publik ingin peta jalan jelas: apa strategi penciptaan lapangan kerja, bagaimana distribusi hasil pertumbuhan, dan sejauh mana belanja negara diarahkan pada infrastruktur, pendidikan, serta kesehatan.
Pernyataan “rakyat berhenti demo kalau ekonomi tumbuh” tidak hanya dangkal, tetapi juga berpotensi merusak komunikasi pemerintah dengan rakyat.
Kredibilitas seorang Menkeu tidak diukur dari retorika, melainkan dari konsistensi eksekusi kebijakan.
Apa yang Harus Dilakukan Purbaya
Pertama, bangun kredibilitas fiskal. APBN harus dikelola dengan disiplin, transparan, dan berorientasi jangka panjang.
Target pertumbuhan tinggi tak boleh mengorbankan keseimbangan fiskal.
Kedua, buka ruang dialog dengan publik. Kritik adalah masukan, bukan gangguan.
Seorang Menkeu harus menunjukkan telinga yang peka, bukan hanya mulut yang lantang.
Ketiga, bumikan visi Presiden dengan program nyata. Belanja produktif harus diperluas, reformasi birokrasi dipercepat, dan hambatan investasi dipangkas.
Sinergi dengan kebijakan moneter juga penting agar ekspansi fiskal tidak memicu inflasi.
Keempat, jaga komunikasi publik. Menkeu adalah wajah fiskal Indonesia di mata dunia.
Setiap kata harus menenangkan publik dan meyakinkan pasar, bukan menciptakan kegaduhan baru.
Apa yang Tidak Boleh Dilakukan Purbaya
Pertama, jangan meremehkan kritik publik. Suara masyarakat adalah fondasi demokrasi.
Kedua, jangan terjebak dalam retorika tanpa strategi.
Publik sudah kenyang janji muluk. Yang dibutuhkan adalah roadmap detail dengan indikator yang terukur.
Ketiga, jangan biarkan overconfidence menjadi gaya kepemimpinan.
Target 8 persen pertumbuhan hanya bisa tercapai dengan perhitungan matang, bukan sekadar optimisme pribadi.
Menuju Kredibilitas
Seorang Menkeu adalah nakhoda kapal fiskal Indonesia. Jika terlalu percaya diri, kapal bisa karam; jika terlalu takut, kapal tak berlayar.
Yang dibutuhkan adalah keseimbangan: berani mengambil risiko, namun tetap realistis dan hati-hati.
Purbaya kini berada di persimpangan. Apakah ia akan menjadi ekonom dengan retorika optimistis yang kontroversial, atau pemimpin fiskal yang kredibel dan mampu mengeksekusi visi Presiden?
Jika ia mampu menahan diri, mendengar publik, menjaga kredibilitas fiskal, dan mengeksekusi strategi dengan cermat, pertumbuhan 8 persen bukan mustahil.
Namun jika overconfidence dibiarkan mendikte kebijakan, maka bukan pertumbuhan yang kita dapat, melainkan ketidakstabilan sosial-ekonomi yang berbalik merugikan bangsa.
End