Catatan Risdiana Wiryatni
“Tidak ada penderitaan yang abadi, tidak ada kebahagiaan yang abadi. Kecuali bagi yang pandai bersyukur, selamanya ia akan merasakan kebahagiaan. Ketika perjalanan hidup terasa membosankan, maka Allah menyuruh kita untuk banyak bersyukur. Bersyukurlah untuk kesalahan yang kamu buat”
Terkadang, dibutuhkan kata-kata bersyukur untuk diri sendiri guna menyadarkan hati bahwasanya banyak sekali hal di sekeliling yang patut untuk diapresiasi. Tak perlu hal-hal yang terkesan mewah, mahal, dan besar. Hal-hal yang kecil, biasa, dan sederhana pun patut untuk disyukuri.
Dengan tak lupa bersyukur, kita akan mendapati bahwa hidup akan lebih mudah untuk dihadapi. Terlebih, rasa syukur akan membawa kita pada rasa berkecukupan yang juga tak kalah penting untuk dimiliki. Dengan demikian, hidup dijamin akan lebih damai dan tentram tanpa banyak masalah.
Begitu juga tentang rezeki. Setiap rezeki yang kita syukuri, akan membawa kenikmatan hidup penuh keberkahan. Rezeki harus dijemput melalui proses dan dilandasi iman serta syukur. Saya teringat kisah tentang nelayan yang menjemput rezekinya di tengah ganasnya ombak di lautan.
Nelayan mengarungi hamparan samudera yang kadang ganas, kadang bersahabat. Mereka bergerilya mencari rizki untuk keluarga. Harapannya pun sederhana, hari itu beroleh ikan yang bisa dibawa pulang untuk kemudian dijual di pasar atau kepada tengkulak yang sudah menunggu di bibir pantai. Begitu proses yang harus dijalani demi sesuap nasi. Melalui ilustrasi kisah tersebut, kita diajak untuk mentafakuri makna rezeki.
Bahwa nikmat sekecil apapun itu, ternyata mengalami proses panjang dan berliku. Tak serta merta ia sampai kepada kita, melainkan atas jalan dan kuasa Tuhan yang membuatnya terjadi.
Rezeki sejatinya adalah sebentuk keajaiban dan kemurahan Tuhan yang dianugerahkan kepada kita. Bahkan atas rezeki sebutir garam saja, Tuhan mengirimkannya dengan cara yang luar biasa. Begitu rumit, dan teliti. Rezeki sudah menjadi ketetapan Tuhan.
IA memberi kelebihan kepada sebagian, dan memberi kekurangan kepada sebagian yang lain. Oleh karena itu justifikasi yang secara tidak sadar kita berikan kepada mereka yang kekurangan, serta jumawa hati atas kelebihan yang kita miliki, dihindari.
Kita cukup mengusahakan yang terbaik. Selanjutnya biarkanlah sunatullah berlaku, beriringan dengan ketetapan Tuhan. Sebagaimana Imam Al-Ghazali menerangkan : meski kita tidak tahu dimana keberadaan rezeki kita, tetapi rezeki kita tahu dimana kita berada. Ia akan datangi kita sebagaimana titah Tuhan .
Mari, pastikan bahwa kita mensyukuri setiap nikmat sekecil apapun itu, serta meyakini bahwa Tuhan menjaminkan ia datang dimanapun kita berada. Kesyukuran kita atas rezeki, pastikan ia bebas dari rasa ke-akuan dan tanpa merendahkan mereka yang kekurangan.
[red]