Mengapa perkebunan sawit sehijau apa pun tidaklah sama dengan hutan?

Foto: Ilustrasi perkebunan kelapa sawit. [Foto InfoSawit]

STRATEGINEWS.id, Medan — Dalam diskusi publik, sering muncul anggapan bahwa perkebunan kelapa sawit dapat menggantikan peran hutan karena sama-sama punya banyak pohon. Namun menurut Taufikurahman, ahli ekofisiologi tumbuhan dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) Institut Teknologi Bandung (ITB), fungsi ekologis keduanya sangatlah berbeda.

“Kebun kelapa sawit itu monokultur dengan jarak antar-tanaman sekitar 9 meter. Ada ruang terbuka antar-pohon dan akarnya serabut sehingga dangkal. Hal inilah yang menyebabkan sawit kurang bisa menahan air dan mengikat tanah,” jelas Taufikurahman.

banner 400x130

Akar sawit berbentuk serabut dengan kedalaman terbatas sekitar 1,5-2 meter sehingga kurang mampu memberikan penyangga mekanis yang kuat terhadap tanah, terutama di wilayah miring.

Hutan alami punya pohon-pohon yang memiliki akar dalam, berlapis dan saling terkait antar-spesies. Sementara itu, perkebunan sawit memiliki pohon-pohon dengan pola akar yang seragam dan dangkal. Akibatnya, tanah mudah tergerus ketika terjadi arus deras air larian (run off) akibat intensitas hujan yang tinggi.

Ruang kosong antar-pohon di perkebunan sawit juga memungkinkan hujan jatuh langsung ke permukaan tanah dengan energi tinggi. Tanah yang tidak memiliki lapisan serasah tebal, cepat menjadi padat dan sulit menyerap air. Ketika infiltrasi menurun, aliran permukaan meningkat dan membawa lapisan tanah bagian atas (top soil), menyebabkan terjadinya erosi tanah.

Rendahnya keanekaragaman tumbuhan di kebun kelapa sawit juga menyebabkan menurunnya intensitas siklus nutrisi alami yang menjaga kualitas tanah. Selain itu, penggunaan pupuk dan pestisida yang intens dapat mengganggu biota tanah yang justru dibutuhkan untuk mempertahankan struktur tanah yang sehat.

Hal senada juga pernah dijelaskan Wong Ee Lynn dari Malaysian Nature Society lewat sebuah tulisannya di MalaysiaKini. Dia menyebutkan, perkebunan kelapa sawit itu hanya terdiri atas satu jenis tanaman yang jumlahnya banyak di suatu area.

“Ekosistem hutan yang beragam menyediakan keseimbangan alami untuk menjaga kesehatan tanah dan tanaman. Sebaliknya, perkebunan monokultur harus menggunakan herbisida, insektisida, bakterisida, dan pupuk sintetis dalam jumlah besar untuk meniru beberapa cara alam melindungi tanaman,” tulis Lynn.

Dengan demikian, walaupun perkebunan kelapa sawit terdiri atas tumbuhan hijau dan berakar, struktur ekologinya tidak cukup untuk berperan sebagai penyangga hidrologi dan penguat tanah sebagaimana hutan alami.

Hutan hujan tropis, terutama yang tua (primary rainforest), memiliki kemampuan dalam menyimpan total cadangan karbon 4-10 kali lebih banyak daripada perkebunan kelapa sawit.

Dalam hutan, karbon tersimpan dalam biomassa: batang, akar, dedaunan. Selain itu, dalam karbon tanah (soil organic carbon) yang sangat besar, dan dalam material organik yang sudah mati seperti serasah dan kayu lapuk yang lama terurai. Selain itu, keragaman struktur vegetasi hutan alami menyebabkan banyak strata dalam hutan sehingga penangkapan karbon akan lebih stabil.

Sementara itu, kelapa sawit hanya menyerap karbon selama masih tumbuh, tetapi menyimpan jauh lebih sedikit dalam biomassa karena kayunya ringan, tidak tebal, dan tidak menumpuk dalam tanah.

Hutan juga merupakan habitat bagi aneka ragam hewan seperti gajah, harimau, orang utan, monyet, dan burung. Hewan-hewan tersebut sulit atau bahkan tidak bisa hidup dan berkembang biak secara alami pada ekosistem kebun kelapa sawit.

Dampak dari hilangnya hutan alami akibat ekspansi perkebunan sawit sudah terlihat di berbagai daerah di Indonesia. Dengan berkurangnya kapasitas tanah menyerap air, hujan lebat langsung mengalir ke permukaan dan membawa material tanah, terutama di wilayah perbukitan.

Taufikurahman menekankan, berbagai banjir besar dan longsor di Sumatra merupakan contoh nyata bagaimana hilangnya tutupan vegetasi alami mempengaruhi ketahanan ekologis.

Dia menjelaskan, meski regulasi kehutanan telah melindungi kawasan tertentu, pemberian izin dan lemahnya pengawasan menyebabkan konversi tetap terjadi di area yang seharusnya tidak dibuka.

Dalam jangka panjang, tekanan ekologis dari perubahan ini membuat wilayah rawan bencana semakin meluas, dan masyarakat di sekitarnya menghadapi risiko yang semakin besar.

Upaya Restorasi Hutan dan Pentingnya Dukungan Kebijakan

Mengembalikan ekosistem hutan tidak dapat dilakukan secara instan. Restorasi memerlukan inventarisasi spesies asli, penyediaan bibit pohon lokal, serta pemulihan kualitas tanah yang sering mengalami degradasi setelah digunakan untuk menanam kelapa sawit.

“Tanah bekas kelapa sawit dan tambang itu sering rusak. Ada yang pH-nya sangat asam, ada yang strukturnya padat sekali, sehingga harus di-treatment terlebih dahulu sebelum ditanami,” jelas Taufikurahman, seperti dikutip dari laman ITB. Hal ini menegaskan bahwa tahap awal rehabilitasi harus fokus pada perbaikan kondisi tanah.

Taufikurahman menambahkan, tanpa campur tangan manusia, proses pemulihan alami dapat berlangsung sangat lama, hingga ratusan tahun. Namun intervensi yang dirancang dengan baik, seperti penyiapan tanah, penggunaan spesies lokal dan pemulihan biota tanah, dapat mempercepat proses tersebut menjadi beberapa dekade.

“Konsistensi ini penting karena keberhasilan restorasi tidak hanya bergantung pada aspek ekologis, tetapi juga pada tata kelola, pendanaan, dan komitmen jangka panjang,” tegasnya.

Taufikurahman juga menegaskan pentingnya melestarikan hutan karena pohon secara alami memiliki kemampuan menahan, menyaring, dan mendistribusikan air secara seimbang sehingga air hujan tidak langsung mengalir deras ke permukaan.

Ketika tutupan hutan hilang, seluruh mekanisme ekologis ini runtuh dan tanah menjadi lebih rentan terhadap erosi, banjir, dan longsor. Bencana ekologis di Sumatra adalah salah satu contoh nyatanya, seperti dikutip dari Nationalgeographic.co.id, Kamis (25/12/2025) malam.

(KTS/rel)

Sumber: Nationalgeographic.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *