Prof. Dr. Djohermansyah Djohan: Dana Otsus Papua Amanat Konstitusi, Tidak Boleh Dipangkas

Pakar pemerintahan dan otonomi daerah Prof Djohermansyah Djohan (Foto RRI.co.id)

STRATEGINEWS.id, Jakarta – Pakar pemerintahan dan otonomi daerah Prof. Dr. Djohermansyah Djohan menegaskan bahwa dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua bukan sekadar angka dalam APBN, melainkan amanat konstitusi guna mempercepat pembangunan dan meredakan konflik di wilayah tersebut.

Demikian Djohermansyah menyikapi pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada rapat dengan komite eksekutif dan para kepala daerah se tanah Papua yang menegaskan komitmen menjaga, bahkan menambah alokasi dana Otsus Papua

banner 400x130

“Dalam konteks anggaran 2026, pemerintah pusat memastikan dana Otsus tidak mengalami penurunan. Sikap ini bukan pilihan politik biasa, melainkan kewajiban hukum dan moral negara,” kata Djohermansyah Djohan kepada media ini, Jumat (19/12/2025).

Dana Otsus Tidak Boleh Dipangkas

Undang-Undang Otonomi Khusus Papua No 2 Tahun 2021 secara tegas mengatur bahwa dana Otsus dialokasikan sebesar 2,25 persen dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional. Angka ini bersifat formula tetap. Artinya, tidak boleh dikurangi, apalagi dipangkas sepihak.

Selain itu, Papua juga menerima dana tambahan infrastruktur sebagai “on top” dari dana Otsus. Tambahan ini diberikan untuk menjawab kondisi geografis Papua yang ekstrem dan berbeda jauh dengan wilayah lain di Indonesia.

“Di Jawa, dari kabupaten ke kecamatan bisa naik sepeda motor. Di Papua, dari kabupaten ke distrik sering kali harus naik pesawat,” ujar Djohermansyah yang menggambarkan mahalnya biaya operasional pemerintahan dan pembangunan di Bumi Cenderawasih itu.

Harga material bangunan yang bisa berlipat ganda, distribusi logistik yang rumit, hingga keterisolasian wilayah membuat setiap rupiah di Papua tidak bisa disamakan daya belinya dengan di wilayah barat Indonesia.

Papua yang Mahal, Negara Tak Boleh Abai

Dalam diskusinya dengan pejabat pemda di Papua Tengah dan Papua Induk belum lama ini Djohermansyah mendengar langsung curhat aparat pemda. Ia mencatat, beberapa provinsi baru di Papua APBD-nya hanya sekitar Rp1 triliun, jumlah yang bahkan tidak cukup untuk membiayai operasional pemerintahan, apalagi menggerakkan pembangunan.

Karena itu, ia mengingatkan agar kebijakan pemangkasan dana transfer ke daerah dilakukan dengan sangat hati-hati. Papua, menurutnya, tidak bisa disamakan dengan daerah otonom biasa. “Dana Otsus Papua itu dana untuk menyelesaikan konflik dan mengejar ketertinggalan kesejahteraan. Tujuannya agar Papua damai,” tegasnya.

Papua hingga kini masih mencatat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah di Indonesia, berada di posisi paling bawah secara nasional. Kondisi ini menjadi argumen kuat mengapa dana Otsus justru perlu ditambah bukan dipotong.

Tata Kelola dan Mentalitas Kepemimpinan

Namun, dana besar bukan tanpa masalah. Djohermansyah menggarisbawahi bahwa tantangan Papua tidak berhenti pada soal anggaran. Persoalan krusial lainnya adalah tata kelola pemerintahan.

Ia menyoroti lemahnya transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas penggunaan dana. Dana Otsus seharusnya fokus pada pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, dan kesejahteraan Orang Asli Papua (OAP). Namun dalam observasinya, dampak dana otsus terhadap indikator-indikator tersebut belum mengungkit secara signifikan. Belum terjadi akselerasi pembangunan.

Sebagian penyebabnya adalah mahalnya biaya pembangunan. Dengan jumlah uang yang sama, satu sekolah di Papua bisa menelan anggaran setara dengan membangun beberapa sekolah di Jawa. Selain itu, faktor keamanan dan gangguan non-teknis—seperti perusakan fasilitas publik—juga memperberat proses pembangunan.

Di sisi lain, ia menekankan pentingnya perubahan sikap dan perilaku elite lokal. Kepala daerah, menurutnya, tidak boleh lebih banyak berada di Jakarta atau bepergian ke luar negeri ketimbang bekerja di wilayahnya sendiri.

“Pemimpin pemerintahan itu bukan hanya harus kreatif, inovatif, dan kolaboratif, tapi juga sensitif. Sensitif terhadap penderitaan rakyatnya, terhadap keterbatasan daerahnya,” ujarnya.

Pengawasan Khusus Daerah Khusus

Besarnya dana Otsus juga membawa risiko moral hazard. Menurut Djohermansyah, kesalahan mendasar selama ini adalah menyamakan model pengawasan Papua dengan daerah otonom biasa.

Padahal, Papua adalah daerah dengan status kekhususan: dana lebih besar, kewenangan lebih luas, dan struktur kelembagaan yang unik, termasuk keberadaan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural.

Karena itu, ia mendorong model pengawasan khusus, terukur, dan berbasis pendampingan langsung. Target pembangunan harus jelas: berapa sekolah, rumah sakit, puskesmas, dan jalan kampung yang dibangun—dan semua itu harus dikawal ketat.

Pengawasan jarak jauh dari Jakarta dinilai tidak efektif, terlebih kini Papua telah dimekarkan menjadi enam provinsi. Negara, kata Djohermansyah, tidak bisa sekadar “memberi uang lalu pergi”.

Pada akhirnya, mengurus Papua bukan hanya soal administrasi anggaran. Ini adalah soal memenangkan hati rakyat Papua. Pemberian dana harus diikuti pembinaan, pengawasan, dan kehadiran nyata negara di lapangan. Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otsus Papua yang dipimpin Velix Wanggai ditunggu sekali gebrakannya.

Tanpa itu, tujuan besar Otonomi Khusus -mempercepat kesejahteraan dan menjaga perdamaian- akan terus tertahan di atas kertas. Negara sudah memberi kepercayaan melalui dana dan kewenangan. Kini tantangannya adalah memastikan kepercayaan itu benar-benar sampai kepada orang asli papua yang paling membutuhkannya, seperti dikutip dari parlementaria.com, Jumat (19/12/2025) malam.

[nug/rel]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *