Warga Namo Buaya dan Cipar Pari Keluhkan Bau Limbah PT MSB II

Pengingat Pentingnya Penegakan Hukum Lingkungan

Ipong,ketua tim investigasi LPLHI Subulussalam

STRATEGINEWS.id| Subulussalam — Aroma menyengat yang berasal dari kawasan industri di Desa Namo Buaya, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, kembali dikeluhkan warga. Bau busuk itu diduga berasal dari limbah cair pabrik pengolahan kelapa sawit milik PT Mitra Sawit Bersama II (PT MSB II).

Setiap pagi hingga sore hari, udara di sekitar pemukiman warga Namo Buaya dan Cipar Pari terasa menusuk hidung. “Biasanya mulai jam lima pagi sampai sore. Kami tak tahan, luar biasa bauknya,” keluh seorang warga, Kamis (30/10/2025).

Bau tersebut tidak hanya menimbulkan ketidaknyamanan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai kepatuhan perusahaan terhadap aturan lingkungan hidup.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), setiap kegiatan industri yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan WAJIB memiliki izin lingkungan yang terdiri dari dokumen AMDAL atau UKL-UPL.

Tanpa izin ini, aktivitas perusahaan bisa dikategorikan melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana.

Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Subulussalam, Lidin Padang kepada salah satu media , membenarkan bahwa PT MSB II belum sepenuhnya melengkapi perizinan.

“Memang masih ada beberapa perizinan yang belum tuntas, termasuk IMB dan izin lingkungan,” sebutnya.

Ketua Tim Investigasi Lembaga Penyelamat Lingkungan Hidup Indonesia (LPLHI), Ipong, menilai kondisi ini menunjukkan lemahnya pengawasan.

“Kami minta pemerintah dan aparat penegak hukum segera memanggil dan memeriksa pihak PT MSB II. Mereka harus bertanggung jawab atas pencemaran udara dan kelengkapan izin yang belum jelas,” tegas Ipong.

Dalam hukum lingkungan, perusahaan yang mengabaikan pengelolaan limbah bisa dijerat dengan Pasal 98 dan 99 UU No. 32/2009, yang mengatur pidana bagi pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Sanksinya dapat berupa penjara hingga 10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar, tergantung tingkat pelanggaran.

Upaya konfirmasi kepada pihak perusahaan belum membuahkan hasil. Drymata Bukit, selaku Humas PT MSB II, tidak merespons panggilan dan pesan yang dikirimkan oleh media.

Sementara itu, di lapangan muncul dugaan bahwa keberadaan perusahaan tersebut “dilindungi” oleh pihak tertentu, sehingga penegakan hukum berjalan lambat.

Padahal, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Negara, melalui aparat penegak hukum, memiliki kewajiban untuk memastikan hak itu terlindungi.

Edukasi bagi Masyarakat

Kasus PT MSB II ini menjadi contoh nyata pentingnya kesadaran masyarakat terhadap hak lingkungan. Warga berhak:

1. Mengadu ke instansi lingkungan hidup (DLH atau Dinas Lingkungan Provinsi/Kota);

2. Meminta informasi publik tentang izin lingkungan perusahaan (berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik);

3. Melibatkan lembaga hukum atau LSM untuk pendampingan dalam pelaporan;

4. Melaporkan dugaan pelanggaran ke Gakkum KLHK atau Kejaksaan Negeri setempat.

Kepedulian warga bukan sekadar protes, tetapi bagian dari kontrol sosial dan penegakan hukum lingkungan di daerah.

Bau limbah yang menyebar setiap pagi kini menjadi simbol nyata bagaimana ketimpangan antara hukum dan kekuasaan bisa terasa di udara. Warga mencium busuknya pencemaran, tapi aparat tampak tak mencium apa-apa.

Lingkungan yang sehat adalah hak rakyat, bukan hadiah dari penguasa — dan hukum seharusnya menjadi pelindung, bukan penutup hidung atas pelanggaran.

[dedi]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *