Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ
Peluncuran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara seharusnya menjadi momentum besar dalam sejarah ekonomi Indonesia. Namun, langkah ini justru memicu lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, terutama terkait kredibilitas lembaga ini di mata investor. Salah satu isu utama yang muncul adalah penempatan Menteri dan Wakil Menteri sebagai direksi Danantara, yang tidak hanya menimbulkan kekhawatiran tentang independensi lembaga ini tetapi juga menandakan lemahnya komitmen terhadap prinsip tata kelola yang baik.
Sinyal Buruk bagi Investor
Keputusan untuk mengangkat Menteri Investasi dan Hilirisasi Rosan Roeslani sebagai CEO, Wakil Menteri BUMN Dony Oskaria sebagai COO, dan Wakil Direktur Utama PT TBS Energi Utama Tbk Pandu Sjahrir sebagai CIO mencerminkan ketidaktegasan dalam membangun kepemimpinan yang benar-benar independen.
Rangkap jabatan ini mengirimkan sinyal buruk ke pasar bahwa Danantara bukanlah entitas yang memiliki struktur profesional yang kuat, tetapi lebih merupakan perpanjangan tangan dari birokrasi pemerintah.
Investor umumnya mencari jaminan bahwa sebuah sovereign wealth fund dikelola oleh para profesional yang memiliki fokus penuh pada pengelolaan aset dan strategi investasi jangka panjang.
Namun, dengan para direksi yang juga menjabat sebagai pejabat negara, muncul pertanyaan mengenai konflik kepentingan dan kurangnya dedikasi penuh terhadap pengelolaan Danantara.
Tidak adanya pemisahan yang jelas antara kebijakan pemerintah dan strategi investasi Danantara menciptakan ketidakpastian yang tidak diinginkan oleh investor.
Narasi Besar Tanpa Komitmen Penuh
Pemerintah terus menggaungkan bahwa Danantara akan menjadi pilar penting dalam pengelolaan aset negara dan investasi strategis.
Namun, narasi besar ini bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan.
Jika benar Danantara merupakan proyek strategis jangka panjang, mengapa para direksinya tidak diminta untuk mendedikasikan diri sepenuhnya?
Dalam praktik terbaik global, pemimpin sovereign wealth fund umumnya direkrut dari kalangan profesional yang memiliki rekam jejak di bidang keuangan, investasi, dan tata kelola.
Keberadaan eksekutif yang masih menjabat di kementerian atau perusahaan lain menunjukkan bahwa mereka mungkin tidak memiliki perhatian penuh terhadap tugas mereka di Danantara.
Ini dapat mempengaruhi kualitas keputusan yang diambil dan efektivitas eksekusi strategi investasi.
Kehadiran Mantan Presiden sebagai Pengawas: Gimmick Politik?
Selain direksi yang merangkap jabatan, kehadiran dua mantan Presiden Indonesia dalam struktur pengawasan Danantara juga menimbulkan banyak pertanyaan.
Dalam praktik terbaik sovereign wealth fund global, dewan pengawas biasanya diisi oleh para ahli di bidang tata kelola, manajemen investasi, dan regulasi keuangan.
Namun, dalam kasus Danantara, pemilihan mantan presiden lebih terlihat sebagai upaya meningkatkan daya tarik politik daripada membangun sistem pengawasan yang kredibel.
Jika Danantara mengalami salah kelola atau menghadapi skandal di masa depan, reputasi mantan presiden yang bertindak sebagai pengawas juga akan ikut tercoreng.
Kehadiran mereka tidak serta merta meningkatkan kepercayaan pasar, melainkan justru bisa menjadi bumerang jika kredibilitas Danantara runtuh.
Investor yang paham tata kelola keuangan akan lebih menghargai kehadiran figur dengan kompetensi investasi yang kuat daripada tokoh politik dengan latar belakang eksekutif negara.
Reaksi Pasar: Respon Dingin dari Investor
Salah satu indikator utama apakah pasar percaya terhadap sebuah kebijakan atau lembaga baru adalah reaksi bursa saham.
Saat Danantara resmi diluncurkan, respons pasar terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru biasa saja, bahkan cenderung melemah.
Pada hari peluncuran Danantara, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah sebesar 0,78% ke level 6.749,60
Ini menunjukkan bahwa investor tidak melihat Danantara sebagai instrumen investasi yang menjanjikan atau membawa dampak positif langsung terhadap ekonomi nasional.
Jika dibandingkan dengan peluncuran sovereign wealth fund di negara lain, reaksi IHSG terhadap Danantara sangat kontras.
Dalam beberapa kasus sukses di negara lain, peluncuran lembaga investasi nasional seringkali disambut dengan optimisme pasar karena dianggap sebagai langkah yang memperkuat ekonomi.
Namun, di Indonesia, reaksi dingin dari IHSG mengindikasikan bahwa investor masih skeptis terhadap masa depan Danantara.
Narasi Besar, Kepercayaan Rendah
Sejak awal, Presiden Prabowo Subianto telah mempromosikan Danantara sebagai solusi besar bagi pengelolaan aset negara dan strategi investasi jangka panjang.
Namun, narasi besar ini tidak cukup untuk membangun kepercayaan tanpa komitmen nyata dalam tata kelola dan struktur kelembagaan yang kuat.
Investor tidak hanya tertarik pada retorika, mereka membutuhkan bukti bahwa Danantara akan dikelola dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme tinggi.
Dengan kondisi saat ini, di mana para direksi merangkap jabatan, pengawas berasal dari lingkaran politik, dan pasar menunjukkan sikap skeptis, Danantara justru lebih terlihat sebagai proyek politik daripada instrumen investasi yang dapat dipercaya.
Narasi Besar Harus Penempatan Orang Yang Baik
Penempatan pejabat negara sebagai direksi Danantara merupakan langkah yang menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Rangkap jabatan ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius dalam membangun lembaga investasi yang independen dan profesional.
Kehadiran mantan presiden sebagai pengawas juga lebih terlihat sebagai gimmick politik daripada upaya menciptakan sistem oversight yang kuat.
Respon dingin dari pasar semakin memperjelas bahwa investor belum melihat Danantara sebagai instrumen investasi baru yang menjanjikan.
Jika pemerintah ingin Danantara sukses dan mendapat kepercayaan global, maka perlu ada revisi besar dalam struktur kepemimpinan dan tata kelola lembaga ini.
Tanpa perubahan tersebut, Danantara hanya akan menjadi proyek politik yang gagal memenuhi ekspektasi pasar dan publik.
END