Opini  

Perubahan Doktrin Wartawan di Era Digital

Foto ilustrsi istimewa
banner 400x130

Catatan D. Supriyanto Jagad N *)

Dalam acara Summit Nasional Media Massa dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) 2025 di Banjarmasin   Sabtu (8/2/2025), ada salah satu momen penting adalah paparan dari tokoh pers senior, Dahlan Iskan, yang menyampaikan pandangannya tentang transformasi media massa dan tantangan yang dihadapi wartawan saat ini.

Dahlan Iskan, yang juga mantan Menteri BUMN, menyoroti pengaruh besar media sosial (medsos) terhadap cara masyarakat mengonsumsi informasi. Menurutnya, medsos telah menyebabkan masyarakat semakin terbiasa dengan bacaan yang pendek dan instan.

“Penyakit medsos ini membuat masyarakat sudah tidak ingin lagi membaca tulisan panjang. Medsos bikin masyarakat membaca pendek,” demikian kata Dahlan.

Dalam kesempatan tersebut, Dahlan juga mengungkapkan adanya pergeseran mendalam dalam doktrin kewartawanan. Dulu, wartawan didorong untuk menulis demi kepentingan umum tetapi kini banyak tulisan yang lebih fokus pada kepentingan pribadi.

“Tulisan Anda, apa kepentingannya dengan pribadi kami? Kalau tidak ada, enggak akan dibaca,” ucap Dahlan menegaskan.

Apa yang disampaikan Dahlan Iskan, patut kita cermati. Fenomena media sosial menggeser peran media karena media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Media sosial dapat menggantikan peran media massa konvensional dalam menyebarkan informasi.

Media sosial dapat menjadi sumber berita yang utama dan terkini. Media sosial memiliki dampak positif dan negatif bagi masyarakat. Dampak positifnya adalah kemudahan memperoleh dan menyampaikan informasi, sedangkan dampak negatifnya adalah kecanduan internet dan masalah privasi. Belum persoalan-persoalan hoaks untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.

Menurut Fatimah Kartini Bohang dalam artikelnya Media Sosial Mulai Mennggeser Peran Media Massa, yang dimuat di Kompas.com, awalnya, peran Facebook dan Twitter hanya sebatas menjembatani situs media dengan pembaca. Situs media bahkan membuat akun Facebook dan Twitter untuk menyebarkan tautan artikelnya. Namun, Facebook dan Twitter tak ingin selamanya jadi loket take-away makanan. Mereka ingin pula jadi restoran tempat orang membeli kudapan dan nongkrong berjam-jam.

Secara singkat, dulu netizen ke Twitter dan Facebook untuk tahu informasi terbaru. Tapi, untuk tahu kelengkapan informasi beserta foto-foto yang lebih beragam, netizen masih butuh berkunjung ke situs media. Seiring perkembangan teknologi informasi, sekarang Twitter dan Facebook menyediakan pengalaman antarmuka yang mumpuni atas suatu berita. Netizen bisa mengetahui informasi lengkap dari kedua platform tanpa harus berkunjung ke situs media.

Tujuannya, mereka ingin  menjadi agregator berita paling lengkap dan paling dibutuhkan, sehingga netizen tak perlu beranjak ke mana-mana.

Yang terjadi saat ini, kedua platform mendulang trafik yang padat dan bisa mempopulerkan brand apapun. Para situs media mau tak mau harus bekerjasama dengan kedua platform untuk mendapat atensi masyarakat, walau tak signifikan. Jika tidak, kompetitor mereka akan bermitra dengan kedua platform itu. Situs-situs media yang bersikukuh menolak kerjasama dengan Facebook dan Twitter inilah yang bakal lebih cepat kehilangan eksistensi. Jika tak ada kebijakan lain untuk mempertahankan eksistensi situs media, maka ke depan para produsen berita hanya akan jadi ghost writer “penulis hantu” bagi Facebook dan Twitter. Mereka menulis dan memproduksi berita, tapi tak terakui kehadirannya.

Peran media massa sebagai agen of change

Media massa dapat berperan dalam mendorong perubahan sosial masyarakat, seperti mengubah pola pikir, sikap, dan budaya materi masyarakat.

Media massa dapat berkontribusi pada pembentukan tatanan nilai-nilai kebudayaan bagi masyarakat.

Sebagai wartawan kita tetap bekerja profesional. Wartawan harus mampu merekonstruksi semua aspek kehidupan manusia. Karenanya, tidak mengherankan jika wartawan bisa dikatakan sebagai agen konstruksi sebuah kenyataan sosial di lapangan.

Bukan hanya itu, wartawan tidak semata-mata melaporkan sebuah fakta dan data, wartawan harus turut serta mendefinisikan sebuah peristiwa, lalu tanpa disadari secara penuh wartawan mampu membawa pembaca, pemirsa maupun pendengar ke alam pemikiran wartawan yang bersangkutan. Sehingga ungkapan karya jurnlistik yang disajikan kepada pembaca, pemirsa maupun pendengarnya, berimplikasi terhadap masalah etika yang dibawa wartawan yang bersangkutan.

Dengan demikian, kita tak perlu khawatir terhadap gempuran media sosial. Kehadiran media masih tetap dibutuhkan untuk negeri ini.

*) Pekerja media, penikmat kopi pahit

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *