STRATEGINEWS.id, Medan — Novelis Dee Lestari atau Dewi Lestari Simangunsong berbagi pengalaman kepada ratusan mahasiswa dan para penulis di Kota Medan. Dee pun berkisah bagaimana proses kepenulisan buku-bukunya, khususnya buku teranyarnya berjudul “Tanpa Rencana”.
Diakui Dee, proses kepenulisan buku itu cukup unik. Buku itu lahir dari proses panjang setelah Dee jenuh bersosial media dan memilih kembali memasuki dunia sunyi penulis.
Hal itu dikatakan mantan personel Trio Rida Sita Dewi ini saat “Bedah Buku Karya Dewi Lestari/Dee Lestari berjudul Tanpa Rencana”. Diskusi yang digagas Ngobrol Buku bekerja sama dengan FIB USU ini berlangsung di Aula Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara, Sabtu (8/2/2025).
“Buku itu semacam bulan madu dengan diri saya sendiri sebagai penulis setelah proses panjang dan jenuh bersosial media. Idenya pun spontan. Malah beberapa tulisan ada yang idenya berasal dari pembaca,” kata Dee menjawab pertanyaan pemandu diskusi, Eka Dalanta.
Penulis sejumlah buku beken antara lain, “Supernova” “Filosofi Kopi” dan “Perahu Kertas” ini mengaku, baginya menulis ada sebuah upaya untuk tetap “hidup”. Menulis adalah sebuah terapi yang membuat pikiran tetap sehat, kuat dan kreatif, kata Dee.
Menjawab pertanyaan seorang peserta diskusi, Dee pun berkisah bagaimana dia menulis “Supernova” yang menandai debut pertamanya sebagai novelis 20 tahunan lalu.
“Supernova ada sebanyak 6 sekuel. Itu bukan karena ketika diterbitkan pertama kali langsung laris sehingga dibuat berseri, tetapi karena memang idenya mengalir terus. Begitu usai ditulis, selalu ada yang kurang, makanya berlanjut terus. Supernova merupakan proyek kreatif yang paling berat dan melelahkan. Saat satu ide ditulis, ide lain muncul. Bahkan ada ide yang mestinya bagian dari buku, justru ketika dikembangkan malah jadi satu buku,” kisah mantan istri Marcel Siahaan (sebelum menikah dengan (alm) Reza Gunawan) ini.
Ditanya soal bagaimana menjaga ide dan konsistensi, Dee mengatakan, dunia kepenulisan juga ada jatuh bangun. Hal itu merupakan sesuatu yang alami. Yang terpenting, kata perempuan Batak marga Simangunsong ini, begitu buku mulai dikerjakan harus berani dipastikan kapan selesainya
“Harus ada deadline-nya. Tanggal berapa, bulan berapa. Itu sesuatu yang penting dalam kepenulisan,” kata Dee.
Sebelumnya, mewakili pejabat FIB USU Dardanila mengatakan, kehadiran Dee ke USU merupakan satu kebanggaan bagi FIB. Dee merupakan sosok yang dapat menjadi inspirasi bagi mahasiswa untuk berkarya dalam bentuk tulisan.
“Mbak Dee sudah cukup populer dengan karya-karyanya. Salah satu yang saya suka adalah Filosofi Kopi. Mudah-mudahan kehadiran Mbak Dee bisa menjadi inspirasi bagi para mahasiswa FIB,” kata Dardanila, seperti dikutip dari medanbisnisdaily.com, Sabtu (8/2/2025) malam.
(KTS/rel)