Catatan Dr. Suriyanto Pd, SH,MH,M.Kn *)
Cerita tentang penghianatan politik di negeri tercinta Indonesia, seakan tak ada habis habisnya, dari masa ke masa, dari masa raja raja era feodalisme sampai era oligarki dan kapitalisme selalu hadir dengan wajah berbeda, tapi sifatnya yang sama.
Politik memang sulit ditebak, tapi perilaku politik terkadang mudah di tebak, gejala persengkokolan , gejala ambisi meraih jabatan dengan mudah ditafsirkan oleh para analis politik kemana arah akhir ceritanya.
Ambisi ingin terus berkuasa dengan membangun politik dinasti pun terjadi, meski samar-samar.
Indonesia dalam beberapa pekan terakhir ini, terus menggeliat dengan dinamika politiknya. Warisan pemerintahan masa lalu terus digugat, mulai dari eksplorasi kekayaan sumber daya alam, praktik-praktik korupsi para oknum pejabat penyelenggara pemerintahan, pemagaran pagar laut, dan lain-lain masih hangat menghiasi media sosial dan media-media lainnya.
Memang demikianlah faktanya, dinamika kehidupan perpolitikan tanah air perlu ‘dihidupkan’ melalui berbagai cara, termasuk pembelajaran bagaimana berkomunikasi dan membangun komitmen politik.
Melihat dinamika politik yang terjadi, saya teringat oleh kisah pewayangan yang sangat masyur “Petruk Dadi Ratu”.
Salah satu cerita yang ‘masyhur’ pernah terjadi adalah bagaimana seorang “Petruk” bisa menjadi “Ratu”.
Petruk yang digambarkan sebagai “Punakawan”, bukan ber trah bangsawan, namun dapat menguasai “keprabon” sebagai Ratu. Terlepas kebenaran dari cerita tersebut, saya memandang ada hal penting yang digambarkan.
Perilaku politik yang elegan dan bermartabat adalah perilaku yang amanah, pandai berterima kasih kepada orang yang pernah memberikan jalan kesuksesan sehingga memiliki prestasi dan sukses.
Sebab manusia yang tak pandai terima kasih kepada orang yang pernah memberikan sesuatu kebaikan kepadanya, maka percaya lah lebih amat sulit lagi bisa bersyukur kepada Tuhannya, sehingga akan dilanda rasa kekurangan dan kegelisahan jiwa yang tak berkesudahan.
Catatan Hikayat Petruk Dadi Ratu ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh gencarnya pemberitaan media yang pernah mengemuka.
Kisah Petruk Dadi Ratu memberi makna simbolik, yang mustahil kawula alit bisa memimpin, meski ia punya kemampuan memimpin, tapi tak sepantasnya jadi pemimpin.
Tapi Petruk dalam kisah pewayangan itu mengobrak-abrik tatanan ketidakmungkinan menjadi mungkin, dan itu dengan “merampas” kekuasaan, meski hanya semalam. Ya, hanya semalam. Tak perlu Petruk ambil kesempatan berkuasa hingga 2 periode, dan itu 10 tahun. Itu jauh dari tabiat sikapnya. Apalagi sampai tamak ingin tambah lagi satu periode. Atau tetap ngotot jika tidak mungkin, keukeuh menawar tambahan jabatan dengan 2-3 tahun, dengan dalih ingin melanjutkan pembangunan yang belum tuntas dikerjakan disebabkan sebelumnya negeri terserang virus dari Wuhan, Tiongkok.
Petruk Dadi Ratu bisa dilihat dari berbagai angle. Bisa dilihat dari kemustahilan kawula alit memimpin negeri yang disebut Mayapada, sampai munculnya pemberontakan para punakawan–Semar, Gareng, Petruk dan Bagong–yang lalu mendorong Petruk ambil kekuasaan dari tangan Arjuna, penguasa yang dilihatnya melenceng jauh dari yang semestinya.
Setelah membereskan negeri dari sengkarut dan ketidakpastian, dan itu cuma butuh waktu semalam, ia kembalikan singgasana kekuasaan pada yang berhak sebagai raja. Dan, itu Arjuna. Petruk dan para punakawan lainnya kembali ke habitatnya sebagai pengabdi dan penghibur di istana. Kisah Petruk Dadi Ratu, ini memunculkan ketidakmungkinan menjadi mungkin. Dan yang lebih dahsyat lagi, Petruk tidak menghendaki kedudukan sebagai raja itu karena ambisi, dan karenanya ingin berkuasa selamanya.
Tidak persis tahu mengapa Presiden Joko Widodo (Jokowi) acap distigma sebagai “Petruk Dadi Ratu”. Menyandingkan Jokowi dengan Petruk, itu sama sekali tidak nyambung, jauh api dari panggang. Artinya, bertolak belakang. Kecuali bentuk fisik dan sama-sama berangkat sebagai kawula alit, setidaknya dari partai yang mengambil jargon sebagai partai wong cilik. Sedang sifat lain antara Jokowi dan Petruk justru seperti berkebalikan.
Petruk dalam kisah Petruk Dadi Ratu punya sifat bijak, yang tidak ingin ada ketidakberesan pemimpin dalam mengelola negara, dan karenanya ia tampil untuk meluruskannya. Memilih cukup semalam jadi Raja, setelah tugasnya selesai Petruk tahu diri bahwa bukan di situ maqam -nya. Sebagai punakawan tugasnya melayani lebih pada mengabdi, dan menghibur raja dan segenap penghuni istana.
Tidak demikian dengan Jokowi yang memang mesti menjabat sebagai presiden selama 5 tahun, dan bisa dipilih lagi selanjutnya sekali lagi untuk masa 5 tahun berikutnya. Setelah itu mesti turun tahta. Demokrasi dipilih sebagai sistem, dan itu hasil rembugan founding fathers, bahwa jabatan sebagai presiden itu punya periodisasi yang disepakati, yang tertera dalam konstitusi.
Moralnya mestinya berhenti, tidak memberi ruang untuk tawar-menawar menambah periode jabatannya, meski itu permintaan sebagian rakyat pendukungnya. Atau bahkan seluruh rakyat menghendaki agar ia memimpin lagi dan lagi, meski dengan mengubah konstitusi. Bukan menyerahkan semuanya pada keinginan rakyat, dan itu menabrak konstitusi.
Suara-suara menambah periodisasi, atau setidaknya menambah beberapa tahun agar Jokowi terus berkuasa, setidaknya disuarakan relawan garis keras. Seperti tak ingin Jokowi menyudahi jabatannya di tahun 2024. Tidak cukup sampai di situ, muncul pula suara-suara yang meski sulit dikonfirmasi kebenarannya, bahwa Pemilu/Pilpres akan ditunda, tanpa menyebut ditunda sebab apa. Dan, itu menjadikan Jokowi tetap berkuasa.
Maka, segala cara untuk membatalkan Pemilu tepat waktu diupayakan, dan ini pelanggaran konstitusi serius. Demokrasi sedang dipertaruhkan oleh keinginan terlarang, oleh ambisi jadi raja-rajaan di negara demokrasi. Dan, itu moral hazard.
Menyandingkan Jokowi seolah Petruk dalam kisah Petruk Dadi Ratu sama sekali tak mengena. Bahkan sedikit pun keduanya tak bisa diserupakan. Petruk mencukupkan hanya semalam saja merasakan singgasana sebagai raja, dan itu karena kondisi memaksanya. Sedang Jokowi, mendapat privilage layaknya raja sungguhan, dan itu 10 tahun, tapi masih merasa kurang, dan ingin menambahnya.
Memang sih menambah periodisasi, atau menambah 2-3 tahun lagi jabatannya, itu tidak keluar dari mulut Jokowi. Disuarakan para pendukungnya, dan Jokowi tampak enjoy , tanpa merasa risih dengan munculnya suara-suara itu, yang menghendaki seolah Jokowi jadi “raja-rajaan” di negara yang memilih sistem demokrasi. Ending dari kisah raja-rajaan dengan peran Jokowi, ini sulit diprediksi akan seperti apa. Tapi yang pasti, semua akan berakhir, dan itu tidak bisa ditawar-tawar
*) Ketua Umum DPP Persatuan Wartawan Republik Indonesia