Oleh : Salamuddin Daeng
Ada dua pola utama yang menjadi bahan obok obok terhadap pemerintah yang dilakukan oposisi, pertama adalah menolak suatu program yang sudah mandatory oleh UU dan peraturan penundangan turunannya. Kedua, mendesakkan suatu tuntutan agar segera dijalankan oleh pemeirntah padahal belum rampung UU, kelembagaan dan aturan hukum untuk menjalankan program tersebut.
Kedua cara tersebut tentu saja efektif untuk membuat pemerintah semakin banyak menabrak hukum atau memaksakan kehendak sehingga memiliki konsekuensi pelanggaran hukum dan juga dapat dinyatakan sebagai korupsi. Saya akan membawa dua contoh sekaligus dalam dua program yang menjadi polemik belakangan ini.
Contoh pertama adalah PPN 12 persen. Oposisi secara gencar melakukan penolakan terhadap PPN. Jelas memangemunggangi keresahan masyarakat atas masalah perpajakan nasional yang ruwet dan complicated. Menunggangi kegagalan kementerian keuangan dalam mengelola perpajakan secara akuntabel dan transparan. Menunggangi kasus korupsi dan pencucian uang yang sangat marak di kementerian keuangan. Dll.
Oposisi tau persis bahwa Program ini secara mandatory merupakan kewajiban pemerintah untuk menjalankannya sebagaimana Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU ini telah berlaku sejak 29 oktober 2021. Salah satu perintah UU iki adalah pemerintah menetapkan PPN 12 persen.
Tapi apa yang dilakukan pemerintah justru tidak mau menjalankan program ini. Sementara pemeirntah sebelumnya menjalankannya dengan menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen. Pemerintah berkelit dengan memindahkan mandatory UU tersebut menjadi kenaikan PPN BM. Padahal jelas yang dimaksud oleh UU adalah PPN. UU mewajibkan pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen paling lambat 1 januari 2025.
Pemerintah beralasan bahwa pemerintah hanya menaikkan secara selektif PPN. Tapi ini tidak terbukti karena PPN tidak diubah dan tidak ada kenaikan selektif terhadap PPN. Yang dilakukan pemerintah adalah kenaikan PPN BM dan bukan kenaikan PPN secara selektif. Ini Pointnya yang akan menjadi sumber serangan oposisi berikutnya. Kocok terus sampai lumer! Kira kira begitu
Memang di dalam UU PPH pemerintah dapat menaikkan PPN maksimal 15 persen dan minimal 5 persen. Namun itu semua harus dikonsultasikan dengan DPR. Namun pemerintah tidak melakukannya dan mengambil keputusan sepihak yakni mengembalikan PPN ke angka 11 persen. Belum ada kabar apakah ini telah dikonsultasikan dengan DPP. Sebab kalau ada maka harus ada perubahan APBN atau APBNP.
Ini jelas akan menjadi bahan gorengan oposisi karena dalam UU APBN ada kewajiban pemerintah menaikkan PPN untuk mencapai target penerimaan negara dari PPN. Apa yang akan terjadi penerimaan PPN tidak akan mencapai target atau jauh dari target yang ditetapkan.
Patut diingat bahwa UU APBN telah menetapkan target secara jelas pendapatan negara dari PPN. Sebagaimana UU APBN Pasal 4 (2) Pendapatan Pajak Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan sebesar RP2.433.5 triliun, terdiri atas: a. pendapatan pajak penghasilan; b. pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah; C. pendapatan pajak bumi dan bangunan; d. pendapatan cukai; DAN e. pendapatan pajak lainnya.
Apakah mungkin target pendapatan ini dapat dicapai? Tentu saja akan tidak tercapai. Target dan kenyataan bagaikan mimpi di siang bolong. Sementara dalam UU APBN pasal 4 ayat (4) Pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b direncanakan sebesar Rp945, 12 triliun. Dalam perkiraan resmi bahwa batalnya kenaikan PPN akan mengurangi pendspatan negara sekitar 72 T triliun rupiah. Sementara kenaikan PPN BM hanya akan menambah pendapatan negara 3,2 triliun rupiah.
Apa yang akan terjadi berikutnya cukup parah yakni oposisi akan melabeli pemerintah gagal manjalankan UU PPH dan gagal menjalankan UU APBN. target penerimaan. Negara dari pajak tidak tercapai. Maka lalu omongan ini akan disambut oleh orang kementerian keuangan dengan kata kata “lah ini kan perintah presiden karena menolak PPN 12% dan memgisolasi masalah ke PPN BM. Maka oposisi makin enjoy pemerintah gagal di tahun pertama.
Karena kuatir artikel ini akan terlalu panjang maka saya cukup kan. Contoh kedua yakni ulah oposisi mendesakkan sesuatu yang belum rampung landasan hukumnya akan saya bahas di artikel berikutnya. Intinya opisisi berhasil menjebol rencana pemerintah dan pemerintah makin tidak percaya diri terhadap semua rencana dan kebijakannya. Akumulasi pelanggaran pemerintah makin bertambah. Oposisi mempersiapkan langkah berikutnya, terus menjebol dan menjebol. Hingga pemerintah benar benar lembek. Waspada dan waspadalah.