banner 400x130

Menyoal Krisis Keteladanan dalam Kepemimpinan Politik di Indonesia

STRATEGINEWS.id, Makassar – Ma’REFAT INSTITUE Sulawesi Selatan kembali hadir dalam agenda rutin bulanannya, Ma’REFAT INFORMAL MEETING (REFORMING) yang ke-15, dengan tema “Menyoal krisis keteladanan dalam kepemimpinan politik di Indonesia” yang dilaksanakan pada 29 September 2024, di kantor LINGKAR-Ma’REFAT kota Makassar.

Pada Reforming kali ini, menghadirkan dua pemantik diskusi yang berlatar belakang akademisi dan birokrasi, yakni; Zulkarnain Hamson, S.Sos., M.Si dan Arifin, S.AP., M.AP.

Sebagai pengantar, moderator mengawali sebuah pandangan bahwa kepemimpinan politik yang baik akan menentukan keberhasilan atau kegagalan pembangunan sebuah negara. Kepemimpinan politik yang buruk dianggap menghasilkan kegagalan pemerintahan dan bahkan bencana politik suatu negara. Kepemimpinan politik memegang posisi sentral, menentukan bagaimana sebuah pemerintahan dijalankan, termasuk bagaiman berbagai kebijakan diproduksi.

Memulai diskusi, kesempatan pertama diberikan kepada Arifin yang juga sebagai Koordinator Divisi Program dan Pengkajian Ma’REFAT INSTITUTE, beliau mengawali bahwa di sebuah pesan agama, dalam pesan kitab suci pada surah al-Ahzab, ayat 21 mengatakan bahwa sungguh pada diri Rasulullah SAW benar-benar ada suri tauladan yang baik. Melanjutkan ayat tersebut, Arifin mengungkapkan suri tauladan ini hanya bagi mereka yang mengharapkan rahmat dari Allah, meyakini hari kiamat, serta banyak mengingat Allah.

Beliau memberikan pandangan tentang kepemimpinan politik dan kepemimpinan birokrasi. Menurutnya ketika pertanyaan ini dilemparkan kepada sejawatnya di birokrasi, “Bagusan dipimpin mana? Orang partai atau orang birokraksi?” Tentu banyak di antara mereka menjawab ‘dipimpin orang birokrasi’. Menurut Arifin, pemimpin yang berasal dari politik sarat kepentingan, yang bahkan bisa mendobrak segala aturan dan system birokrasi. “Hari ini, kepemimpinan politik tidak tahu ingin bertanggung jawab terhadap siapa, apakah konstitusi atau kah konstituen, atau justru terhadap partai pengusungnya,” jelas Arifin.

“Saya melahirkan hipotesa seperti ini, pemimpin yang berintegritas, pemimpin yang jujur, dan pemimpin yang amanah dalam sebuah tanggung jawab, itu sangat berpengaruh dari masa kecilnya.” Arifin berpendapat pengasuhan orang tua semasa kecil dan berbagai hal yang dicontohkan orang tua dan lingkungan tempat anak bertumbuh dan berkembang sangat menentukan integritas dan kepemimpinan si anak di masa depan.

“Jadi kalau bapak-ibunya tidak rajin baca buku, tiba-tiba dia pegang jabatan, jangan harap literasi berkembang di masa jabatannya, mungkin seperti itu.” Ungkap Arifin dengan sedikit kelakar.

Pemantik kedua, Zulkarnain Hamson sebagai akademisi serta peneliti komunikasi politik dan media. Dalam naskah yang beliau terbitkan sendiri menjelaskan tentang keteladanan dalam politik meliputi beberapa aspek, yakni; Integritas, Akuntabilitas, Kepemimpinan yang melayani, Konsistensi dan Empati. Menurutnya, pemimpin yang teladan menciptakan iklim politik yang sehat dan memperkuat institusi demokrasi.

Zulkarnain mengutip dua pesan penting dari dua tokoh pendiri bangsa, yang pertama dari bapak Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Soekarno; “Kebenaran dan keadilan harus selalu diperjuangkan, meskipun harus melawan arus. Sebuah bangsa yang besar membutuhkan pemimpin yang visioner dan berani. Kemerdekaan yang diraih dengan susah payah harus dijaga dan dipertahankan.” Dan yang kedua dari Bung Hatta “Demokrasi Pancasila nilai-nilai penting dan sangat utama menekankan keseimbangan antara kebebasan individu dan kepentingan bersama, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.”

Menutup sesinya, Zulkarnain menuturkan, “Bung Hatta, mewariskan keteladanan pemimpin politik dalam membangun arah ekonomi sosial Indonesia, hingga hari ini.”

Muncul tanggapan dan pertanyaan dari salah seorang peserta bagaimana menyikapi fenomena saat ini di mana para pejabat atau penguasa sibuk pada urusan mengembalikan modal saat pemilu, sehingga ada trend negative saat berjalannya roda pemerintahan karena tidak lagi berfokus pada program, melainkan pada upaya mengembalikan modal, bahkan mengejar profit. Permasalahan lainnya, kepemimpinan saat ini yang berupaya melanjutkan kekuasaannya lewat orang terdekat atau keluarganya saja.

Tanggapan pertama diberikan oleh Arifin, “Jika dikatakan bahwa beberapa pejabat atau pemimpin tidak bisa bekerja dengan baik karena sibuk mengembalikan modal, maka yang menjadi pertanyaan adalah betulkah para pejabat itu modalnya tidak kembali jikalau bekerja jujur, akuntabel, transparan dan berintegritas?” Arifin menambahkan, salah satu ciri krisis keteladanan adalah kurangnya gagasan-gagasan besar yang lahir dari para politisi saat ini. “Kita krisis gagasan dari politisi. Bandingkan dengan Bung Hatta yang memproduksi gagasan yang begitu besar. Politisi kita hari ini juga menulis buku, tapi pesanan.”

Giliran Zulkarnain, memulai dengan pertanyaan, “Siapkah kita mendidik generasi kita tanpa perspektif materialis?” Menurutnya, pemahaman ini penting, agar kelak kepemimpinan publik tidak terkooptasi dengan kepentingan materiil.

Beliau menambahkan, iklim politik Indonesia sudah tidak sehat; politik uang yang sangat masif, korupsi yang berlangsung secara sistemik. Baginya, perlu suatu tindakan sistematis untuk memotong akar-akar korupsi agar pohon korupnya bisa mati. Selain itu, Zulkarnain juga menuturkan, “Patronase dan nepotisme sudah mengakar di negeri ini, ibaratnya sudah diternakkan di dalam sistem politik kita. Untuk itu pentingnya keteladan dan Pendidikan politik yang baik sejak dini.”

Tanggapan lainnya, datang dari peserta yang lain, “Kita sepakat bahwa kita kembali ke rumah tangga untuk menguatkan pondasi nilai dan keteladanan, tapi di sisi yang lain kita butuh rekayasa sosial untuk melawan sebuah gelombang dan arus yang begitu besar yang di kemudian hari bisa mempengaruhi semuanya. Bagaiman kita membangun sebuah diskursus yang kemudian mampu mengantarkan kita pada sebuah alternatif solusi. Ruang-ruang saat ini harus diisi oleh orang-orang baik, yang tidak gampang ditarik kedalam situasi pragmatisme.”

Mengutip dari Prof. Ryaas Rasyid, Arifin menanggapi, “Sebagai warga negara, kita berhak mendapatkan pemerintahan yang baik!” Hal ini yang perlu diupayakan di setiap lingkaran yang kita bisa jangkau. Pemahaman ini perlu disebarluaskan sebagai upaya konsolidasi.

“Saat ini ada media sosial sebagai pintu perjuangan untuk memberitakan hal-hal baik, menceritakan tentang kebaikan dan menyampaikan aspirasi yang benar. Minimal kita sudah mengingatkan orang di sekitar kita untuk senantiasa berbuat baik. Karena segala sesuatunya di mulai dari diri kita.” Zulkarnain menutup tanggapannya.

Diskusi yang berjalan selama dua jam ini, seperti biasa dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, baik mahasiswa, dosen, aktivitis lingkungan, dan juga pelaku usaha serta karyawan swasta.

[nug/rel]

banner 400x130

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *