banner 400x130
Energi  

Biodiesel hingga Hydro: Komitmen Indonesia Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca

Foto ilustrasi energyworld

STRATEGINEWS.id, Jakarta – Indonesia terus berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 31,89 persen pada 2030 melalui transisi energi terbarukan dan perdagangan karbon. Langkah ini diharapkan dapat mempercepat tercapainya Net Zero Emission pada 2060, atau lebih cepat dengan dukungan internasional.

Pengendalian atas perubahan iklim tidak hanya menjadi komitmen pemerintah namun juga pada dunia. Karena itu, Indonesia terus berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca, melalui Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), yaitu sebesar 31,89 persen pada tahun 2030 dengan upaya sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional, serta mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.

“Akselerasi inovasi renewable energy dan transisi energi menjadi penting, karena energi adalah kontribusi utama dari gas rumah kaca di Indonesia, mencapai 34 persen dari total energi gas rumah kaca. Dan suka-tidak suka transisi hijau ini adalah upaya yang paling efektif,” tutur Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam acara Seminar Nasional Renewable Energy dan Transisi Energi dan Rapat Kerja Nasional Badan Badan Kejuruan Mesin Persatuan Insinyur Indonesia (BKM-PII) di Universitas Gunadarma, Depok, Kamis (29/8/2024).

Seturut demikian, dalam mendukung upaya transisi energi ini, pemerintah telah menerbitkan beberapa regulasi diantaranya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yang diantaranya dilakukan melalui mekanisme perdagangan karbon.

Pada Februari 2023 pemerintah juga telah meluncurkan Emission Trading System (ETS) pada sektor pembangkit listrik dan telah meluncurkan Bursa Karbon (IDX Carbon) pada September 2023. Skema perdagangan karbon pada subsektor pembangkit listrik ini berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca sedikitnya 100 juta ton CO2 ekuivalen pada tahun 2030 nanti.

Selain itu, saat ini sedang dikaji Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara dan solar yang akan diusulkan untuk dipensiundinikan (early retirement) dengan didanai melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP).  Pemerintah Indonesia telah mendapatkan komitmen dukungan pendanaan senilai USD21,6 miliar dari skema JETP yang merupakan hasil dari KTT G20 Indonesia Tahun 2022.

Tidak hanya itu, Indonesia bersama Jepang menjadi bidan kelahiran Asia Zero Emission Community (AZEC). Setidaknya AZEC telah memantau 78 proyek transisi energi dari berbagai negara Asia dan 34 proyeknya itu dari Indonesia. “Jadi kita berharap 34 proyek ini bisa mendapatkan dana JETP melalui AZEC,” imbuh Menko Airlangga.

Selain itu, pemerintah juga telah mendorong energi bersih dari bahan nabati melalui implementasi Mandatori Biodiesel. Program Mandatory B35 di Indonesia telah menjadi contoh sukses dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang berhasil menerapkan secara konsisten dalam kurun waktu delapan tahun terakhir dengan tingkat pencampuran tertinggi. Bahkan, saat ini Indonesia sedang menyiapkan untuk Mandatori B40 yang rencananya akan dikeluarkan Januari 2025.

Menko Airlangga juga mengatakan ke depan Indonesia akan menyiapkan Sustainable Aviation Fuel (SAF) untuk 5 persen dari penggunaan avtur yang diharapkan Indonesia menjadi supplier terbesar di ASEAN. Kemudian Indonesia juga akan mengembangkan hydro energy yang diharapkan bisa mencapai total kapasitas mendekati 10 gigawatt.

Konsep Hibrida Pembangkit Listrik

Upaya menurunkan emisi gas rumah kaca juga dilakukan di ranah penelitian dan inovasi. Saat ini, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah membuat konsep hibrida antara Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pumped Hydro Energy Storage (PHES) yang ditopang oleh Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Model ini berpotensi untuk energi listrik berkelanjutan.

“Dalam sistem hibrida ini, daya dan energi yang dihasilkan oleh PLTS dapat digunakan untuk melayani beban pada siang hari, sementara PLTMH dapat beroperasi untuk melayani beban pada malam hari atau saat PLTS tidak menghasilkan listrik,” kata Peneliti Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi (PRKKE) BRIN, Andhika Prastawa di Jakarta, Kamis (29/8/2024).

Andhika mengatakan pemanfaatan energi air melalui pengembangan PLTMH memiliki potensi besar. Kajian terbaru menemukan bahwa terdapat sekitar 26.000 lokasi off-river di Indonesia yang belum dimanfaatkan, dengan potensi kapasitas penyimpanan energi mencapai 800 Terawatt hour (TWh).

Namun demikian, Andhika menyebutkan pengembangan teknologi hibrida PLTS-PHES di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan, yang meliputi kebutuhan akan pemetaan potensi yang lebih konkret, pendanaan yang memadai, regulasi harga yang mendukung, serta dukungan logistik yang realistis.

Untuk itu, pihak BRIN menekankan pentingnya kolaborasi yang erat antara pemerintah, industri, dan lembaga riset untuk mewujudkan potensi besar energi terbarukan di Indonesia.

Penulis: Kristantyo Wisnubroto

[Sumber: Indonesia.go.id]

banner 1080x90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *