Prof. Dr. Muhammad Azhar, MA *)
Dosen FAI-Pascasarjana UMY & LARI (Lingkar Akademisi Reformis Indonesia)
Akhir-akhir ini banyak beredar berbagai informasi, baik di media massa formal maupun yang non formal di berbagai medsos, tentang “kampanye” beberapa capres maupun cawapres yang akan bertarung pada Pilpres 2024. Fenomena tersebut juga diramaikan oleh beberapa hasil polling dari lembagai survey yang ada. Dalam sebuah negara demokrasi, apalagi yang relatif baru seperti Indonesia, fenomena ini merupakan hal yang wajar saja.
Tentu ada respon yang kritis, di musim covid yang belum usai, masih ada saja yang curi start ancang-ancang untuk maju – dimajukan – sebagai capres-cawapres. Namun ada pula, umumnya dari follower sang capres-cawapres, berpandangan bahwa Pilpres memang masih sekitar dua tahun lagi, namun untuk pengenalan dan promosi capres-cawapres, waktu dua tahun dinilai terlalu singkat. Kedua pandangan tersebut sah-sah saja, sepanjang “kampanye” ditampilkan secara rasional, elegan dan damai. Yang agak mengganggu dan mendapat cibiran dari masyrakat yakni pemasangan baliho yang dinilai agak lebay. Sementara via medsos lebih dianggap wajar dan low cost.
Setiap capres-cawapres, termasuk tim suksesnya, pasti saling berlomba adu “kampanye”, baik secara tersirat maupun terang-terangan. Masing-masing tim sukses – termasuk influencer dan para buzzer – saling berlomba menampilkan kelebihan masing-masing jagoannya. Sang capres-cawapres juga muncul dari berbagai segmen, ada yang dari menteri, gubernur, tokoh partai, bahkan satu dua muncul dari segmen sosial yang jauh dari kekuasaan.
Secara UU, setiap warga negara bolah-boleh saja mengajukan – diajukan – diri sebagai capres-cawapres, sepanjang sesuai dengan UU yang berlaku. Misalnya, Presiden Jokowi tentu tidak boleh lagi mengajukan diri atau diajukan sebagai capres atau cawapres, berdasarkan ketentuan pasal 7 UUD RI 45 yang ada. Demikian pula, yang pernah kena sanksi hukum pasal ancaman lima tahun penjara, juga tidak bisa mengajukan diri – diajukan – sebagai capres-cawapres. Kecuali jika ada amandemen atau perubahan UU. Demikian pula, jika presidential threshold masih tetap berlaku 20 persen, maka capres dan cawapres yang memenuhi electoral threshold tersebut saja yang bisa maju atau diusulkan.
Sejauh ini, masing-masing capres dan cawapres umumnya lebih mengkampanyekan diri atau dipromosikan terkait kesuksesan pribadi maupun hasil kinerja, terutama yang berada dalam pemerintahan. Sejauh ini, belum tampak gagasan-gagasan brilian dan out of the box untuk kemajuan Indonesia ke depan, baik secara politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Mungkin belum masanya bagi para capres cawapres mengemukakan hal tersebut. Boleh jadi “amunisi” tersebut disimpan dulu oleh masing-masing capres-cawapres bersama timsesnya. Untuk para menteri, konon Presiden juga memberi ruang bagi para pembantunya untuk lebih sering tampil memperkenalkan diri menyampaikan gagasan-gagasan futurologis masing-masing, sepanjang tidak abai dengan kinerja mereka di masing-masing kementerian.
Menurut Penulis, ada beberapa hal yang penting dikemukakan oleh masing-masing capres-cawapres, yakni: pertama, apa gagasan mereka tentang masa depan demokrasi di Indonesia, terutama terkait menurunnya indeks demokrasi Indonesia.
Kedua, bagaimana sikap mereka tentang politik luar negeri yang bebas dan aktif, terutama terkait dengan isu “antek asing”. Isu Natuna Utara termasuk penting disampaikan oleh masing-masing capres-cawapres. Demikian pula terkait dengan kasus KKB-teroris di Papua dan fenomena radikalisme-terorisme lainnya. Bagaimana pula sikap para capres dan cawapres tentang masih maraknya politik identitas yang cenderung berdampak pada keterbelahan warga bangsa.
Ketiga, bagaimana tanggapan mereka tentang upaya kreatif memajukan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Relasi yang ideal antara BUMN dan UMKM. Yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana gagasan out of the box para capres-cawapres tentang data hutang RI yang sering dijadikan isu, apa solusi dari mereka.
Keempat, apa sikap mereka terkait peningkatan kinerja bidang hukum. Bagaimana sikap mereka tentang reformasi birokrasi dan peningkatan profesionalitas aparat hukum, sekaligus peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Bagaimana pula tentang kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Para capres dan cawapres juga perlu ditanyakan sikap mereka tentang masa depan IKN.
Yang lebih penting lagi adalah semua capres-cawapres harus diaudit oleh KPK, terutama terkait dugaan kasus korupsi yang ada kaitannya dengan kebijakan para capres dan cawapres. Tugas KPK ini penting, agar rakyat dapat menemukan capres yang benar-benar clear dari dugaan kasus korupsi, sehingga tidak menjadi beban psikologi dan politik, baik bagi capres-cawapres, maupun bagi rakyat banyak.
Beberapa laporan dari warga sipil terkait isu dugaan korupsi yang menerpa beberapa capres-cawapres, harus segera dituntaskan oleh KPK. Sehingga kelak pada tahun 2024, rakyat benar-benar dapat memilih capres-cawapres yang kredibel dan terhindar dari isu-isu korupsi yang tidak produktif bagi jalannya pemerintahan periode 2024-2029. Isu perselingkuhan dan isu moral lainnya juga akan menjadi pertimbangan pokok bagi mayoritas rakyat dalam memilih capres-cawapres yang kredibel. Idealnya, pilpres yang akan datang terdiri dari – minimal – tiga pasangan capres-cawapres, agar rakyat memiliki beberapa alternatif pilihan, sekaligus meminimalisir potensi psychological and social conflict.
Akhirnya, untuk para tim sukses masing-masing capres-cawapres, perlu persiapan konseptual sejak dini tentang gagasan yang out of the box untuk para jagoan masing-masing. Sehingga capres-cawapres, tidak hanya dipilih karena kemahiran beretorika atau pun sekedar tampilan aksesori di medsos maupun bentuk artifisial lainnya. Namun, rakyat benar-benar disuguhkan oleh berbagai menu gagasan kreatif pembangunan peradaban yang akan datang, untuk Indonesia Unggul, Berkemajuan, Sejahtera, Adil, Damai dan Berkeadaban. Wallahu a’lam bissawab