(Prof. Dr. Muhammad Azhar, MA/Dosen FAI- Pascasarjana UMY dan LARI)
Soedjatmoko, seorang pemikir humanis Indonesia, merumuskan gagasan nasionalisme humanis, tentang kebangsaan tanpa diracuni kebencian. Karena kedalaman ilmunya, Soedjatmoko menginginkan perjuangan bangsa dan negara tanpa harus merendahkan martabat bangsa dan negara lain.
Nasionalisme yang diusung oleh Soedjatmoko adalah supaya adanya rasa cinta tanah air yang tidak membuat dilakukannya hal-hal destruktif. Soedjatmoko dalam buku-buku karangannya memuat pesan untuk membangun bangsa dan negara yang berkelindan dengan aspek budaya. Soedjatmoko tidak ingin membangun tanpa memahami kebutuhan manusia.
Soedjatmoko menginginkan kebudayaan sebagai tolok ukur terciptanya bangsa dan negara yang bebas. Tidak memaksakan kehendak kepada masyarakatnya. Sehingga, kecintaan masyarakat tidak fanatik dan tetap memiliki pemartabatan kepada bangsa dan negara lain.
Menurut Prof. Siswanto yang menulis disertasi tentang Soedjatmoko menyatakan bahwa Soedjatmoko telah memberikan kontribusi intelektualnya tentang kemanusiaan, yang konsisten dengan pemikirannya, tetapi juga mengalami perubahan paradigmatik. Tema-tema sentral pemikiran kemanusiaan Soedjatmoko meliputi politik, sejarah, kebudayaan, pendidikan, kebebasan, pembangunan, ekonomi, modernisasi, konflik, kemiskinan, perjuangan tanpa kekerasan, perdamaian, dan agama.
Prof. Siswanto juga menjelaskan tentang evolusi pola pemikiran kemanusiaan Soedjatmoko yang mencapai puncaknya pada Humanitarianisme. Menurut beliau, evolusi pemikiran Soedjatmoko dapat dipolakan menjadi tiga: Nasionalisme ( 1940-1950-an), Humanisme Universal (1960-1970-an), dan Humanitarianisme (1980-1989-an).
Nasionalisme yang lebih bercorak politik dilatarbelakangi oleh situasi sosial, politik dan ekonomi bangsa Indonesia sebagi akibat penjajahan. Soedjatmoko juga mengkaji tentang bagaimana budaya, agama, dan isme-isme besar menjawab persoalan zamannya.
Soedjatmoko termasuk orang pertama yang memasukkan nasionalisme dalam sejarah. Ia menolak diversifikasi nasionalisme, karena nasionalisme dipandang sebagai proses belajar.
Soedjatmoko berpendapat bahwa nasionalisme Indonesia harus merupakan nasionalisme yang cerdas dan antisipatif. Untuk itu, Soedjatmoko memandang perlunya sebuah konstitusi Negara yang sederhana dan mudah diubah sesuai perkembangan. Fungsi konstitusi adalah untuk membatasi kekuasaan bukan untuk melegitimasinya. Soedjatmoko mengkritik otoriterianisme.
Soedjatmoko juga menghimbau agar manusia selalu memperhatikan keindahan dan perikemanusiaan dalam menggembleng politik nasional.
Adapun pemikiran kemanusiaan Soedjatmoko periode Humanisme Universal memahami bahwa kebangsaan adalah bagian dari kemanusiaan semesta. Bangsa Indonesia adalah kaum internasionalis dengan pengertian yang tepat mengenai nasionalisme.
Menurut Wiratno Soekito, konsep Humanisme Universal yang dirumuskan di Indonesia, tidak terlepas dari peranan dan pengaruh Soedjatmoko.
Bagi Soedjatmoko, kebudayaan adalah siasat manusia menghadapi hari depan. Beberapa unsur penting kebudayaan adalah kreativitas, vitalitas, dan identitas kepribadian. Pertemuan sebuah kebudayaan dengan kebudayaan lain telah menghasilkan perkembangan kebudayaan yang gemilang.
Selain itu, Soedjatmoko selalu menekankan perlunya aktualisasi fungsi cendekiawan. Cendekiawan sebaiknya berada di luar pemerintahan dan menolak sifat angkuh (hubris). Integritas dan keberanian cendekiawan dalam mengabdi untuk kemanusiaan perlu dikembangkan bersama.
Adapun periode Humanitarianisme, lebih bernuansa ekonomi dan agama. Setelah era Perang Dingin berakhir, ketegangan global menjadi berkurang, tetapi politik internasional semakin tidak pasti. Ketidakpastian ini disebabkan oleh semakin banyaknya pelaku internasional dengan kepentingan yang berbeda-beda yakni dalam perang proxy, akibat keterlibat negara-negara adidaya dalam konflik intraregional, tidak berarti konflik tersebut telah berakhir.
Menurut Soedjatmoko, masih banyak negara besar yang melakukan intervensi ke negara-negara kecil yang mau hadir justru karena undangan negara kecil. Mirip kasus perang Rusia dengan Ukraina saat ini. Euforia politik juga mendorong kemungkinan berlanjutnya kekerasan dan krisis kemanusiaan dalam banyak negara. Berbagai konflik endemik dan kemiskinan yang merajalela pada akhir abad ke-20 mengundang kaum humanitarian.
Menurut penelitian Prof. Siswanto, Soedjatmoko tidak banyak menggunakan rujukan al-Qur’an, al Sunnah, dan sumber-sumber keislaman tradisional yang lain. Namun, dengan menggunakan konsep substansialisme dan obyektivikasi Islam, ia sangat concern dengan tema-tema kemanusiaan universal dalam Islam.
Menurut Soedjatmoko, agama merupakan solusi terbaik dalam menghadapi perkembangan iptek dan krisis kemanusiaan, dan bahwa Islam adalah agama kemanusiaan (rahmatan li al-‘alamin).
Evolusi pola pemikiran dan antitesa (kadang-kadang sintesa) terhadap pemikiran kemanusiaan yang berkembang semasa hidupnya. Perlu kerjasama internasional dan konsensus bersama mengenai nilai-nilai universal menuju kebebasan dan kesejahteraan manusia. Humanitarianisme muncul karena kemiskinan dan konflik.
Soedjatmoko menekankan prinsip-prinsip etis pembebasan, tanggung jawab , konsensus, empati dan toleransi, anti kekerasan, modernisasi, dan agama. Latar belakang, sebab, tujuan, dan prinsip-prinsip etis Humanitarianisme Soedjatmoko memiliki kaitan erat, bahkan persamaan, dengan Humanitarianisme Marry B. Anderson, Thomas G. Weiss, Larry Minear, dan Jennifer Hyndman, yang juga menerapkan prinsip-prinsip pembebasan (relieving life-threatening suffering), kemerdekaan (independence), nonpartisan (non-partisanship), akuntabilitas (accountability), proporsionalitas (proportionality to need), kompatibilitas (compatibility or appropriateness), kontekstualitas (contextualization), dan kedaulatan (subsidiarity ofsovereignty). Wallahu a’lam bisshawab.