Sedekah Membawa Berkah

Ilustrasi foto istimewa
banner 400x130

Catatan budaya D. Supriyanto Jagad N *)

“Bu, kita kan sekarang cuma tinggal berdua, kenapa ibu tetap masak sebegitu banyak? Dulu sewaktu kita masih komplit tinggal berenam saja, ibu masaknya selalu lebih. Mbok yao dikurangi, bu…biar ngiriit, apalagi di tengah situasi ekonomi yang serba tidak menentu seperti sekarang ini. BBM mahal, listrik mahal, daya beli turun,” kata saya dengan mulut penuh makanan, masakan ibu  siang ini, nasi liwet anget, sambel ndeso beraroma jeruk purut, tempe garit bumbu bawang uyah, sepotong ikan asin bakar dan sayur asem jawa. Bagi saya yang orang desa, ini menu surga.

Sambil membenahi letak kayu-kayu bakar di tungku, ibu menjawab, “Hambok yo ben tooo. BBM naik diam-diam, itu urusan penguasa, bukan urusan kita. Kita teriak sampai berbusa-busa pun  juga percuma, buang-buang energi saja. Yang penting, meskipun kita orang kecil, tapi hati kita luas, mampu mendengar jerit dan keluh kesah sesama.

“Berbagi yo berbagi, ra sah gagas penguasa, wong penguasa juga gak mikirin kita,berbagi yang iklas, gak usah minta tiga periode, jangan seperti para politisi itu, berbagai ngundang infotainmen, biar dapat suara, itu gak iklas namanya. Sedekah itu yang iklas, gak usah nunggu momen pemilu atau pilkada, atau pil koplo” kata Ibu. Saya hanya mesam mesem mendengar ucapan ibu yang ceplas ceplos

“Mubazir, bu. Kayak kita ini orang kaya saja..,” saya menyahut pelan.

“Opo iyo mubazir? Mana buktinya? Ndi jal?” tanya ibu  kalem.

Kadang aku benci melihat gaya kalem ibu itu. Kalo sudah begitu, ujung-ujungnya pasti saya bakal kalah argumen.

“Lhaa itu? tiap hari kan yo cuma ibu bagi bagi kan ke tetangga to? Juga kepada orang-orang yang lewat mau ke pasar. Mbok ya dikurangi, wong kahanan lagi susah begini. Ibu tahu to?  ucap saya agak ngeyel.

“Itu namanya sedekah, bukan mubazir. Anak pernah sekolah kok tidak bisa membedakan antara sodaqoh dan barang kebuang,” kata ibu

“Sodakoh kok tiap hari?! Seperti sudah kaya saja, Bu… bu!” . Saya mulai jengkel dengan Ibu

“Ukuran kaya itu apa to? kata ibu tetap bernada kalem. Saya jadi gemes melihat ekspresi simbok yang adem-adem saja.

“Kalau kita memiliki sesuatu yang berlebih, itu ukurannya. Begitu saja pakai tanya Bu..bu..!” ucap saya sedikit kesal

“Lha, ibu kan punya makanan lebih to? Berarti ibu kaya, makanya bisa berbagi,” Lanjut ibu, mencoba memberi pemahaman pada saya, bagaimana mengelola keluasan hati.

Tangan ibu yang legam dengan kulit yang makin keriput, menyeka peluh di pelipisnya. Lalu ibu menggeser dingkliknya, sambil menatap lekat-lekat wajah saya. Saya terdiam sambil meneruskan makan, saya kehilangan selera untuk berdebat.

“Le, kita ini sudah dapat jatah rejeki masing-masing, tetapi kewajiban kita kurang lebih sama, sebisa mungkin memberi dan berbagi kepada sesama,” kata ibu pelan.

“Kaya itu keluasan hati untuk memberi, bukan soal kumpulan harta benda. Kalau kita menunggu terkumpulnya harta, baru bisa memberi, itu namanya kita lupa bersyukur, kita menjadi pribadi yang tidak tahu diri di hadapan Gusti Alloh,” tutur ibu lembut. Saya hanya terdiam, sambil mencerna kalimat demi kalimat yang diucapkan ibu.

“Ibumu ini kaya Le. Setiap hari punya makanan berlebih, jadi bisa memberi, meskipun Simbok tidak memiliki harta benda. Tapi itu bukan ukuran kekayaan. Manusia hidup, harus penuh kasih, harus mampu menjadi khalifah, wakil Tuhan di muka bumi, agar senantiasa mampu membawa kebaikan-kebaikan, apapun keadaannya. Yang penting, kita tidak kleleran, masih bisa makan, bisa hidup, bisa beribadah, bisa menyekolahkan kamu agar kelak bisa menjadi orang yang berguna bagi agama dan sesama. Kebanggaan ibu  kelak, apabila kamu bisa menjadi sandaran sesama,” Ibu tersenyum adem.

“Injih, injih, Bu” Saya berucap lirih, tanpa berani menatap wajah Ibu

“Kamu mau tanya, mengapa Ibu masak banyak setiap hari ?” kata Ibu

Saya semakin tidak berdaya, semakin kagum dengan luasnya hati Ibu.

“ Begini, dulu eyang putrimu, selalu menasehati Ibu Katanya kalau masak dilebihkan, meskipun ibaratnya hanya kuah, ataupun nasinya. Barangkali ada tetangga kiri kanan kedatangan tamu jauh, atau anaknya lapar malam-malam, paling tidak dengan kita bisa berbagi, mereka ada yang bisa dimakan. Begitu kira-kira. Semua diniatkan, Insya Alloh berkah, dan tidak ada kata mubazir, Paham?” kata Ibu

Saya terdiam. Saya mendapat pelajaran hikmah tentang hidup, bagaimana mensikapi hidup, di tengah ketidak berdayaan sekalipun.

“Maafkan saya Bu,” ucap saya pelan.

Ah, Ibu, Perempuan yang tidak mengecap bangku sekolah, namun pengetahuannya tentang hidup begitu luas. Simbok selalu mendudukkan segala persoalan hidup pada tempat yang semestinya. Termasuk soal cinta kasih terhadap sesama, Ibu punya cara sendiri untuk menghayatinya.

Sementara saya, manusia modern yang bangga belajar dan terjebak gaya hidup kapitalisme dengan segala hitung-hitungan untung rugi, selalu khawatir akan kekurangan, lupa bahwa Tuhan yang menjamin hidup setiap makhluk yang bernyawa.

Ibu benar, kaya itu kemampuan hati untuk memberi, untuk orang lain, bukan soal mengumpulkan untuk diri sendiri.

Itulah sepenggal kisah dialog saya dengan Ibu puluhan tahun silam. Dialog saya denganIbu  seakan menelanjangi diri saya. Di tengah pergumulan hidup di jaman edan seperti sekarang ini, betapa sifat welas asih, tepo sliro, saling tolong menolong, seakan menjadi hal yang langka.

Ibu, telah mengajarkan saya, keluasan hati dan keiklasan untuk berbagi. Hidup itu jangan pelit, apa yang kita miliki, ada hak orang lain yang dititipkan Allah kepada kita.

Sungguh Allah mencintai orang dermawan. Maka janganlah pernah takut kepada kemiskinan. Justru dengan bersedekah harta akan bertambah.

Sesungguhnya Allah Maha Kaya dan Maha Pemurah tidak sepantasnya, kita sebagai umatNya, takut dilanda kemiskinan. Allah yang Maha Kaya tidak akan membuat hambaNya kelaparan bahkan rezeki seekor cacing yang berada didalam tanah pun sudah Allah jamin. Apa lagi manusia yang Allah karuniakan akal untuk berpikir.

Takut miskin akan menjadi penghalang bagi seseorang meraih sukses dengan mudah. Rasa takut miskin akan membuat seseorang enggan mengulurkan tangannya. Dalam artian mereka takut hartanya akan habis jika disedekahkan.

Sadarilah bahwa apa yang kita miliki segalanya milik Allah. Kita hanya dititipkan. Dan sebagian dari rezeki kita ada hak orang lain. Kita hanya perlu berusaha untuk memberikan yang terbaik dan berdo’a agar Allah jauhkan kita dari sifat takut miskin dan dijauhkan dari perbuatan kikir.

Sahabat, mari bersedekah untuk menjauhkan kita dari sifat takut miskin dan perbuatan kikir, karena sesungguhnya sedekah adalah pinjaman yang baik dan banyak pahalanya.

“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pahalanya) kepada mereka dan bagi mereka pahala yang banyak“. (QS. Al-Hadid: 18).

*) Pekerja budaya, Sekretaris Jenderal DPP Persatuan Wartawan Republik Indonesia

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *